1.
RASUL.
a.
Wahyu berisi ajaran keislaman,
Berisi
syareat lahiriyah yang mengikat setiap orang, karena itu orang yang menolak
bersaksi dengan kalimat syahadat diperangi, dan mereka yang telah
mengucapkannya wajib dilindungi baik darahnya, kehormatannya dan hartanya,
adapun masalah perhitungan bathiniyahnya terserah kepada Allah, karena missi
kerasulan itu bukan untuk mengorek hati seseorang. Nabi saw
bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ فَإِذَا قَالُوهَا مَنَعُوا
مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ
عَلَى اللَّهِ وَفِي الْبَاب عَنْ جَابِرٍ وَأَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ
عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ (رواه
الترمذي) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
“aku
diperintah agar memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan laa ilaha
illallaah, maka bila mereka telah mengucap- kannya, terjagalah darah mereka,
dan harta mereka kecuali dengan [hukum yang sesuai] haknya, dan perhitungan
[amalnya] terserah Allah.” dari Ibnu ‘Umar, [ Hr Bukharii]. [1]
Pengertian
memerangi dalam hadits diatas bukan berarti dalam konotasi kekerasan,
tetapi seperti istilah memerangi kebodohan, kemelaratan, kelemahan iman,
peperangan bersenjata adalah opsi terakhir yang dilakukan bila memenuhi
syaratnya. Bila manusia telah berikrar dengan kalimat tauhid maka terjagalah
dirinya, hartanya dan kehormatannya, dan ia tidak boleh dianiaya. Karena itu
kejadian pada Usamah yang membunuh musuh yang sudah mengucapkan kalimat Laa
ilaaha illallaah dipersalahkan oleh Rasulullah saw sebagaimana disebutkan dalam
hadits:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأُسَامَةَ فِي الرَّجُلِ الَّذِيْ قَتَلَهُ بَعْدَ أَنْ
قَالَ “لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ”: “لِمَ قَتَلْتَهُ؟ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَوْجَعَ فِي الْمُسْلِمِينَ وَقَتَلَ فُلَانًا وَفُلَانًا وَسَمَّى لَهُ نَفَرًا
وَإِنِّي حَمَلْتُ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى السَّيْفَ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَتَلْتَهُ؟!
قَالَ نَعَمْ قَالَ فَكَيْفَ تَصْنَعُ بـ”لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” إِذَا
جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟! قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي قَالَ
وَكَيْفَ تَصْنَعُ بـ”لا إله إلا الله” إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟!
قَالَ: فَجَعَلَ لَا يَزِيدُهُ عَلَى أَنْ يَقُولَ كَيْفَ تَصْنَعُ: كيف تصنع
بـ”لا إله إلا الله” إِذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ؟!” (رواه مسلم.
Rasulullaah
saw bersabda kepada Usamah karena ia membunuh seorang yang sudah mengucapkan
Laa ilaaha illallah, Rasulullah saw : “Mengapa kamu membunuhnya?”
Usmah
berkata: ”wahai Rasulallaah saw ia menyerang kaum muslimin dan membunuh si
Fulan dan Fulan,” dan ia menyebut nama peleton, “maka saya hadapi, ketika
melihat pedangku ia mengucapkan : Laa ilaaha illallaah.”
Rasulullah
saw bersabda: “apa kamu membunuhnya?”
Usamah
menjawab : “ya ”
Beliau
saw berkata: “ maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di
hari kiamat ?”
Usamah
berkata: “Wahai Rasulullaah saw mohonkanlah ampun bagiku.”
Beliau
berkata: “ maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di hari
kiamat ?”
Usmah
berkata: maka beliau terus bertanya begitu dan tidak menambah pertanyaan beliau
dengan : maka bagaimana kamu dengan Laa ilaaha illallaah bila datang di hari
kiamat?. (Hadits riwayat Muslim).
[2]
رُوِىَ أَحْمَدُ عَنِ الْمِقْدَادِ
بْنِ عَمْرُو قَالَ: “قُلْتُ: يَا رَسُوْلُ اللهِ، أَرَأَيْتَ رَجُلاً ضَرَبَنِيْ
بِالسَّيْفِ فَقَطَعَ يَدَيَّ، ثُمَّ لاَذَ مِنِّيْ بِشَجَرَةِ، ثُمَّ قَالَ: “لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ”، أَأَقْتُلُهُ؟ قَالَ: لاَ. فَعُدْتُ مَرَّتَيْنِ أَوْ
ثَلاَثاً، فَقَالَ: لاَ. إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ مِثْلُهُ قَبْلَ أَنْ يَقُوْلُ مَا
قَالَ، وَيَكُوْنُ مِثْلُكَ قَبْلَ أَنْ تَفْعَلُ مَا فَعَلْتَ”.
Diriwayatkan
oleh Ahmad dari Al Miqdad bin Amr ia berkata: Aku berkata: “ Wahai
Rasulullah, apa menurut Anda bila seorang pria menyerang saya dengan pedang dan
memotong tangan saya, kemudian melarikan diri dariku berlindung dipohon, dan
kemudian mengucap:Tidak ada Tuhan selain Allah ,apakah dia saya bunuh?” Beliau
bersabda : Tidak, aku bertanya kembali dua kali atau tiga kali, belau bersabda
: tidak, kecuali bila kamu menjadi seperti dirinya sebelum dia mengucapkan apa
yang dia ucapkan, dan menjadi sepertimu sebelum kamu melakukan apa yang
kamu lakukan “ (Hr.Muslim)[3]
Missi
perjuangan/ jihad fi sabilillah mempunyai wilayah yang terbatas pada masalah
syareat, termasuk pengucapan kalimat Laa Ilaaha illallaah, bila manusia sudah
mengikrarkannya, maka jihad tidak boleh melampaui batas wilayahnya kemudian
membedah isi hati manusia untuk mengetahui apakah hatinya iman atau munafiq,
karena itu Nabi saw bersabda:
لَمْ أُوْمِرُ أَنْ أَنْقَبَ عَنْ
قُلُوْبِ النَّاسِ، وَلاَ أَشُقَّ بُطُوْنَهُمْ”(رَوَاهُ مُسْلِمٍ).
“Aku
tidak diperintah untuk membedah hati manusia, dan tidak diperintah untuk
mengoyak perut mereka.” (Hr. Muslim). [4]
Ibnu
Taimiyyah mengatakan dalam kitabnya As Shaarimul Masluul: tidak ada khilafiyah
di kalangan umat Islam bahwa bila dalam perang dan musuh masuk Islam setelah
melihat pedang baik secara penuh atau terbatas, maka syah Islamnya, dan
diterima taubatnya dari kekafiran, walaupun hal itu menunjukkan keadaannya
bertentangan antara batiniyahnya dan lahiriyah, maka diketahui bahwa
menyatakan Islam dan taubat dari kekafiran darinya itu diterima.
b.
Wahyu Kerasulan berisi ajaran shirathul mustaqim.
Allah
Ta’ala berfirman:
Dan
(aku datang kepadamu) membenarkan Taurat yang datang sebelumku, dan untuk
menghalalkan bagimu sebagian yang Telah diharamkan untukmu, dan Aku datang
kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) daripada Tuhanmu. Karena itu
bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan
Tuhanmu, Karena itu sembahlah Dia. inilah jalan yang lurus”. (QS Ali Imran
50-51).
Ayat di atas menegaskan ucapan nabi
Isa as sebagai rasul, beliau diberi kitab Injil yang membenarkan ajaran kitab
Taurat, menghapus sebagian hukum yang dulu diharamkan, beliau diberi mu’jizat
dan menuntun pada shirat (jalan) yang lurus (mustaqim). Dari keterangan ayat di
atas juga jelas bahwa shirat itu jalan hidup yang benar (haq) berdasarkan
ketentuan syareat. Karena itu rasul diberi tugas untuk menegakkan hukum Allah
(syareat), dan tidak beriman dengan benar seorang muslim sehingga rela menerima
ketentuan syareat, Allaah berfirman :
Dan
barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS Al Maidah 47).
Iman
mempunyai batas syareat dan hakekat batas syareat adalah ridha berhukum dengan
hukum Allah dalam segala segi kehidupan baik politik, ekonomi, Sosial, ibadah
dan semuanya, kemudian seorang mukmin tetap dalam keimannya selama ia
memperjuangkan tegaknya syareat Islam dengan cara yang baik dan benar, walaupun
ia hidup di negara bukan Islam. Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ
حَتىَّ يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا (سورة النساء
٦٥)
Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An Nisa 65).
Ibnu ‘Araby berkata: benar ayat ini menjadi dasar wajibnya berhukum dengan
syareat yang dibawa Rasulullah saw, maka siapa saja yang tidak komitmen
terhadap ketapan rasulullah saw dalam masalah hukum maka dia itu kufur.[5]
لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه متبعا
لما جئت به. (الحكيم، وأبو نصر السجزي (الأربعين للنووي:رقم 41
حديث حسن صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح)
فتح الباري جـ 13 : ويجمع ذلك كله حديث أبي هريرة ” لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به ” أخرجه الحسن بن سفيان وغيره، ورجاله ثقات وقد صححه النووي في آخر الأربعين.
حديث حسن صحيح رويناه في كتاب الحجة بإسناد صحيح)
فتح الباري جـ 13 : ويجمع ذلك كله حديث أبي هريرة ” لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعا لما جئت به ” أخرجه الحسن بن سفيان وغيره، ورجاله ثقات وقد صححه النووي في آخر الأربعين.
Untuk
menegakkan hukum Allah rasul diberi kekuasaan (sulthan) sebagai pemimpin umat
dan bangsa, yang memilki pasukan sebagai kekuatan pendukung, dengan wilayah
kekuasaan tertentu, ada yang menafsirkan sulthan itu sebagi ilmu pengetahuan
dan teknologi, tetapi pada masa rasulullah dahulu belum ada teknologi modern,
kenyataan beliau berhasil menegakkan syareat Islam, meskipun teknologi maju
tetapi tidak punya kekuasaan jangan harap syareat bisa tegak, firman
Allah pada ayat berikut ini menggambarkan bahwa perjuangan rasul itu untuk
mencapai kekuasaan demi tegaknya hukum Allah, Allah berfirman:
Hai
jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit
dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan
kekuatan.(QS Ar Rahman 33).
c.
Menghapus kekafiran dan kemusyrikan.
Tugas
utama rasul adalah membersihkan kekafiran dan kemusyrikan, seperti telah
diketahui masa kebangkitan beliau adalah dalam masa kegelapan jahiliyah dan
kemusyrikan, dan dilingkungan Kabah terdapat 360 berhala yang menjadi
sesembahan kaum musyrikin. Untuk menjalankan tugas itu dibutuhkan
pendukung perjuangan bermental baja dengan keimanan pada tingkat yakin
karena itu dibutukan metode/tarekat penggemblengan yang bersumber dari ajaran
kenabian, wilayah kekuasaan, politik, tatik dan strategi, jangka waktu perjuangan,
karena itu walaupun dalam ayat ini Allah memanggil dengan lafal “hai nabi”
karena Muhammad saw adalah nabi dan rasulullah, tetapi seruan ini pertama dalam
kapasitas beliau sebagai rasul, kedua beliau juga menghadapi musuh dari dalam
yaitu orang-orang Islam yang imannya hanya di bibir sedangkan hatinya dalam
kekufuran, yaitu kaum munafiqin, untuk mengatasi yang kedua ini diperlukan
kapasitas beliau sebagai nabi. Allah berfirman:
Hai nabi,
berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap
keraslah terhadap mereka. tempat mereka ialah jahannam. dan itu adalah tempat
kembali yang seburuk-buruknya. ( QS At Taubah 73).
Ayat di atas adalah surat Madaniyah, artinya turun di Madinah, bermakna bahwa
saat itu beliau sudah berperan sebagai rasul yang secara defakto diakui oleh
seluruh penduduk Madinah sebagai pemimpin dimana ketika itu menjadi sentral
Islam, berhadapan dengan Mekah yang menjadi sentral kekafiran dan kemusyrikan.
Langkah seorang rasul adalah jejak langkah kepala negara yang bersendikan
syareat, karena itu sebagai rasul beliau mempersatukan bangsa Arab, membuat
perjanjian, mengangkat gubernur atau wali kota, menarik jizyah, dan menyurati
para kepala negara, mengadili perkara, dan menjatuhkan hukum, dan lain-lain. Dengan
keberhasilan beliau dalam menundukkan Mekah yang disebut dengan fathu Makkah,
maka kekafiran dan kemusyrikan berhasil beliau hapuskan dari jazirah Arab.
Kerasulan
dan kenabian sepeninggal beliau telah tertutup, tetapi fungsi keduanya
tetap dilanjutkankan, khalifah berfungsi sebagai penerus fungsi kerasulan dan
ulama meneruskan fungsi kenabian, karena itu ketika Abu Bakar As Shidiq menjadi
khalifah, melaksanakan kuwajiban itu, disebutkan dalam hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ
أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ
مَسْعُودٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ َمَّا تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ
بَعْدَهُ كَفَرَ مَنْ كَفَرَ مِنْ الْعَرَبِ فَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ لِأَبِي بَكْرٍ كَيْفَ تُقَاتِلُ النَّاسَ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ
حَتَّى يَقُولُوا لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ عَصَمَ مِنِّي مَالَهُ وَنَفْسَهُ إِلَّا بِحَقِّهِ وَحِسَابُهُ
عَلَى اللَّهِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَاللَّهِ لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ
بَيْنَ الزَّكَاةِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّ الزَّكَاةَ حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ
مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ فَقَالَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَوَاللَّهِ مَا هُوَ إِلَّا أَنْ رَأَيْتُ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ شَرَحَ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ لِلْقِتَالِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ
الْحَقُّ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
وَهَكَذَا رَوَى شُعَيْبُ بْنُ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
وَرَوَى عِمْرَانُ الْقَطَّانُ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مَعْمَرٍ
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ
وَهُوَ حَدِيثٌ خَطَأٌ وَقَدْ خُولِفَ عِمْرَانُ فِي رِوَايَتِهِ عَنْ
مَعْمَرٍ (رواه الترمذي)
Qataibah
telah berbicara kepadaku, Al Laits dari ‘Uqail dari Az Zuhriy telah mengabariku
‘Ubaid bin ‘Abdullah bin ‘Utbah bin Mas’ud dari Abu Hurairah ia telah
berkata, sesudah Rasulullah saw wafat, dan sesudahya Abu Bakar terpilih sebagai
khalifah, maka menjadi kafirlah orang orang kafir dari Arab, maka Umar bin
Khathab berkata kepada Abu Bakar, “ apakah kamu tidak akan memerangi manusia,
padahal Rasulullah saw telah bersabda; aku diperintah agar memerangi manusia
sehingga mereka mengucapkan laa ilaha illallaah , maka bila mereka telah
mengucapkannya, terjagalah darah mereka, dan harta mereka kecuali dengan [hukum
yang sesuai] haknya, dan perhitungan [amalnya] terserah Allah.” Abu Bakar menjawab:
“ Demi Allah sungguh aku akan memerangi siapa yang memisah misahkan antara
zakat dan shalat, sungguh zakat itu haq harta demi Allah bila mencegahku
[menahan zakat] yang telah mereka bayarkan pada masa rasulullah saw maka saya
akan memerangi mereka karena keengganan mereka.” Maka berkatalah Umar bn
Khathab,” maka demi Allah apa yang aku ketahui tentang dia kecuali bahwa Allah
telah melapangkan dada Abu Bakar untuk berjuang, maka aku menjadi tahu bahwa
dia itu al Haqq [kebenaran].” Abu ‘Isa berkata ini hadits
baik-shahih, dan seperti iu juga riwayat Syu’aib bin Abu Hamzah dari Az Zuhriy
dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah, dari Abi Hurairah. Dan diriwayatkan oleh ‘Imran
al Qath thaan, ini hadits dari Ma’mar, dari Az Zuhriy, dari Anas bin Malik,
dari Abu Bakar, dan itu hadits yang salah dan telah diganti oleh ‘Imran dalam
riwayatnya dari Ma’mar.[ hr. Imam At Tirmdzi].
Syarah
: Abu Bakar As Shidiq ra adalah khalifah yang terpilih oleh kaum muslimin
sepeninggal Nabi saw. sesudah Nabi saw wafat banyak orang yang murtad (keluar)
dari Islam, mengaku sebagai Nabi [nabi palsu] dan orang-orang yang menolak
membayar zakat. Karena itu Abu Bakar memerangi mereka atas dorongan Umar bin
Khathab ra. Abu Bakar mempunyai sifat lemah lembut/kasih sayang, karena itu
Umar bin Khthab kuatir bila Abu Bakar akan membiarkan orang orang yang ingkar
tanpa diberi tindakan tegas.
d.
Amal ibadah bersifat wajib.
Rasul mengajarkan ibadah wajib, bila dipenuhi baru pas belum ada kelebihannya,
bila ditinggalkan atau larangannya dilanggar menyebabkan terkena hukum dunia,
dan ibadah wajib ini menjadi pembatas antara iman dan kekafiran, karena itu
bila ditinggalkan, seseorang menjadi kafir, sebagaimana sabda nabi tentang
shalat wajib. Beliau bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ – (م د ت ه) عن جابر (صح)٣١٧٠
Batas
antara sesorang dengan syirik dan kufur adalah meninggalkan shalat. (HR.
Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). [6]
Demikian
juga bagi yang mampu berzakat tetapi tidak mau mengeluarkan zakatnya maka gugur
imannya dan ia menjadi syirik sebagimana firman Allah :
dan
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang musyrik, (yaitu) orang-orang yang
tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat.(QS Fus
Shilat 6-7).
Batas
iman dari segi syareat yang bersifat larangan bila dilanggar dapat
menghilangkan iman Disebutkan dalam Hadits :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ َسَلَّمَ لَا
يَزْنِيالزَّانِي حِينَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَا يَسْرِقُالسَّارِقُ
حِينَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَكِنَّ التَّوْبَةَ مَعْرُوضَةٌ ﴿
رواه الترمي ﴾
Dari
Abiy Hurairah ia berkata. Telah bersabda Rasulullah saw, “tidaklah berzina
seorang pezina ketika ia berzina dalam keadaan iman, dan tidak mencuri seorang
pencuri ketika mencuri dalam keadaan iman, tetapi taubat itu dihadapkan [kepada
Alah].” (Hr. Tirmidzi).[7]
Hadits di atas mengandung pengertian bahwa bila seorang berzina atau mencuri
maka hilanglah imannya, dan tidak akan ditemukan lagi sehingga ia betaubat dan
tidak mengulangi perbuatannya, bila ia bertaubat maka iman akan kembali masuk
kedalam hati. Yang bahaya adalah bila belum sempat bertaubat kemudian meninggal
maka matinya suu-ul khatimah, yaitu mati tanpa berbekal iman.
Ibadah adalah pengabdian hamba kepada Tuhannya, ibadah pada hakekatnya
mempunyai dua bentuk, bentuk ritual dan non ritual, bentuk ibadah ritual yang
diwajibkan seperti shalat, puasa, zakat dan haji, bentuk ritual yang dilarang,
seperti semua perbuatan yang dilarang (haram), dan bentuk non ritual yang
tinggi derajadnya yaitu jihad fi sabilillah, disebutkan dalam hadits :
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ
أَسْبَاطِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْقُرَشِيُّ الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ
ابْنِ أَبِي ذُبَابٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ مَرَّ رَجُلٌ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِعْبٍ
فِيهِ عُيَيْنَةٌ مِنْ مَاءٍ عَذْبَةٌ فَأَعْجَبَتْهُ لِطِيبِهَا فَقَالَ لَوْ
اعْتَزَلْتُ النَّاسَ فَأَقَمْتُ فِي هَذَا الشِّعْبِ وَلَنْ أَفْعَلَ حَتَّى
أَسْتَأْذِنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ
ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَا
تَفْعَلْ فَإِنَّ مُقَامَ أَحَدِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ
فِي بَيْتِهِ سَبْعِينَ عَامًا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
وَيُدْخِلَكُمْ الْجَنَّةَ اغْزُو فِي سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ قَاتَلَ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ فَوَاقَ نَاقَةٍ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ قَالَ أَبُو
عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (رواه التمذي) حسن.
‘Ubaid
bin Asbath bin Muhammad al Qurasyiy al Kufiy, telah berbicara kepadaku, bapakku
telah berbicara, dari Hisyam bin Sa’di, dari Sa’iid bin Abi Hilal dari Abu
Hurairah, ia telah berkata, seorang laki laki dari shahabat Rasulullah
saw telah berjalan melalui celah yang terdapat [mata] air tawar maka
tertariklah ia akan keindahannya lalu berkata, “alangkah baiknya bila aku
beruzlah [menyendiri]ditempat ini, tetapi tidak akan kulakukan hingga aku menta
idzin Rasulullah saw.” maka disebutkanlah hal itu kepada Rasulullah saw
kemudian beliau bersabda; “jangan kau lakukan, karena sesungguhnya derajad
salah seorang dari kalian dalam perjungan di jalan Allah itu lebih utama dari
70 tahun shalat yang dilakukan dirumahnya, tidak kah kalian suka dengan
pengampunan Allah dan memasukkan kalian ke dalam surga ? berjuanglah di jalan
Allah, barang siapa berjuang di jalan Allah dengan keadaan yang bersih
[niatnya] wajiblah baginya surga.” Berkata Abu ‘Isa ini Hadits Hasan[baik].
[riwayat Imam al Tirmidzi].
Islam mengajarkan dan menganjurkan umatnya untuk beramal shalih dalam kehidupan
bermasyarakat dengan amal perbuatan yang bermanfaat kepada manusia lainnya,
baik dengan ilmunya, dengan tenaga, juga dengan hartanya. Amal yang tinggi
nilainya yitu berjuang di jalan Allah, yang meliputi memelihara jamaah dan
imamah, memahamkan syareat kepada umat, menegakkan amar makruf [menyuruh
berbuat baik] dan nahi mungkar [mencegah kejelekan] di tengah tengah
masyarakat, uzlah (menyingkir dari keramaian) untuk beribadah tidak ada unsur perjuangan
(jihad), karena tidak ada tantangan selain diri sendiri.
2.
NABI
a.
Keimanan pada yang ghaib.
Nabi
diberi wahyu hal-hal ghaib, thariqul mustaqim yaitu jalan hidup yang lurus
secara hakekat, diberi hikmah, dan barokah.
اَلَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ الآية:٣
(yaitu)
mereka yang beriman[13] kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezki[16] yang kami anugerahkan kepada mereka. (QS Al
Baqarah 3).
Imam Qatadah berkata: Hai manusia bila kamu tidak menginginkan berbuat baik
selain dari kegiatan maka sesungguhnya dirimu itu condong pada kebosanan,
terputus, dan menyimpang, tetapi orang mukmin itu tanggung jawab, kuat, tegas,
tegak kepada Allah siang dan malam, demi Allah orang mukmin itu tidak akan
bergeser dari ucapannya “Allah Tuhanku” baik secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, hingga mereka dikabulkan secara sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan.
Lafal “bil ghaib” menurut kalam Arab adalah semua yang tersembunyi dari padamu,
karena itu matahari tenggelam dikatan “matahari tersembunyi” demikian pula
hutan tempat bersembunyi hewan-hewan disebut Ghiyaabah, Ghaib itu sesuatu yang
tersembunyi dari penglihatan.
Adapun beberapa ta’wil ghaib ada yang mengatakan qadha dan qadar, hakekat
Alquran, ada yang mengatakan semua yang dikhabarkan rasulullah yang tidak
dicapai akal seperti; kiamat, siksa kubur, hari berkumpulnya manusia,
hari kembali, shirat, timbangan, surga dan neraka, ada yang mengatakan semua
rukun iman, dan Ibnu Mas’ud mengatakan : tidak ada yang lebih utama bagi
seorang mukmin dari beriman kepada yang ghaib, kemudian ia membaca ayat ini (Al
Baqarah ayat 3).
Yang
ghaib itu tidak dapat ditangkap oleh pancaindera dan tidak mampu dideteksi alat
teknologi. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang
maujud yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera, Karena ada dalil yang
menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari
akhirat dan sebagainya. Ghaib ada beberapa macam.
1.
Ghaib Hakiki.
Ghaib
hakiki (ghaib yang sebenarnya) yaitu ghaibnya Dzat Allah SWT, karena
keberadaannya tidak mampu dicapai oleh seluruh mahluknya dengan penglihatan dan
teknologi sehebat apapun, tetapi pandangan yang maha Ghaib itu meliputi seluruh
mahluknya tanpa kecuali karena itu Allah berfirman:
لاَ تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ
يُدْرِكُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ (الأنعام: ٠٣ا)
Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang
kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui. ( QS Al An’am 103).
Hubungan antara Allah dengan manusia dan semua mahluknya karena itu dengan
melalui kalam dibalik hijab seperti Allah berbicara kepada nabi Musa as,
perantaraan malaikat seperti yang banyak dilakukan Jibril kepada Nabi Muhammad
saw, mimpi seperti perintah Allah kepada nabi Ibrahim as, ilham (pesan ke dalam
hati) seperti Ibu Musa yang rela menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil. Allah
berfirman :
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ
يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلاَّ وَحْيًا أًوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلُ رَسُوْلاً
….[الشورى: ا٥]
Dan
tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang
dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS As Syuraa
51).
Pandangan manusia di dunia tidak
mampu mencapai Dzat Allah tetapi di surga Allah akan menunjukan dirinya
(Dzatnya) dalam wujud yang maha Indah dan elok hingga manusia dapat melihatnya
sebagai suatu nikmat paling besar. Allah berfirman :
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى
رَبِّهَا نَاظِرَةً” [القيامة: 22-23]
Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
Melihat. )QS Al Qiyamah 22- 23).
2. Ghaib Relatif.
Ghaib relatif dalam pengertian mahluk itu dapat melihat mahluk lainnya
meskipun ia ghaib, atas idzin Allah, karena itu manusia bisa diperlihatkan
malaikat, jin, syetan, bahkan kejadian yang belum terjadi seperti pada nabi
Khidzir as. Rasulullah saw secara pribadi pernah melihat bentuk asli
malaikat Jibril hingga dua kali, pertama pada awal-awal menerima wahyu, kedua
ketika Isra Mi’raj beliau melihat di Sidratul Muntaha, Allah menegaskan:
“وَلَقَدْ رَآهُ
بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ”[التكوير:٢٣].”وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى
[النجم:٣ا]
Dan
Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. (QS At Takwir
23). Dan Sesungguhnya Muhammad Telah melihat Jibril itu
(dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (QS An Najm 13).
Mahluk ghaib yang derajadnya di bawah malaikat seperti golongan jin lebih mudah
dideteksi dengan panca indera manusia atau dengan indera keenam yang merupakan
perangkat batin dalam diri manusia, Karena itulah nabi Sulaiman as diberi
kemampuan mendaya gunakan jin untuk bekerja dengan mengabdi kepadanya. Allah
berfirman:
Kemudian
kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut ke mana saja
yang dikehendakiNya, Dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya
ahli bangunan dan penyelam, Dan syaitan yang lain yang terikat dalam
belenggu.(QS Shaad 36- 38).
Mempercayai
yang ghaib hukumnya wajib, mengetahui mahluk yang ghaib hukumnya jaiz (boleh),
dan bila dapat memperkuat iman hukumnya sunat, adapun manfaat mengetahui yang
ghaib adalah :
Pertama
menambah kuatnya iman, sebab mengetahui itu proses yang dicapai melalui
pengamatan atau penglihatan sebagai salah satu bentuk pembuktian, hal yang
tidak berbeda jauh dengan orang yang diberi kabar suatu kejadian ia bisa
percaya dan bisa tidak percaya, tetapi bila kemudian kejadian itu ia lihat
sendiri maka ia menjadi mengetahui dan tidak ada istilah tidak percaya,
karena sudah yakin.
Kedua
mampu menyikapi dengan benar, bila yang ia lihat itu syetan atau jin jahat,
maka segera berlindung kepada Allah dan tidak mengikuti ajakannya, sebaliknya
bila malaikat maka akan menambah keyakinan dan kesabaran mengamalkannya karena
kehadirannya merupakan alamat diberkahi dan dirahmati Allah, sebagaimana
keterangan nabi saw tentang malaikat.
Ketiga
dapat membedakan hakekat yang hak dan yang batil, sehingga tidak akan teripu
oleh tipu daya syetan. Untuk memahami dan mengetahui hal yang ghaib harus
dengan ilmu, proses tarekat yang lurus, mujahadah untuk membersihkan hati, dan
semua terjadi hanya dengan idzin Allah SWT. Bila melihat ghaib
tanpa didukung ilmu dan proses tarekat yang lurus maka manusia akan tertipu
oleh pengakuan dan penjelmaan bersifat imitasi yang dilakukan syetan atau jin
kafir.
Salah
satu dari kelemahan manusia adalah tidak mampu menembus masalah ghaib, sehingga
manusia dalam menyikapi sesuatu yang ghaib itu ada 4 macam , pertama mengimani,
kedua meyakini, ketiga meragukan dan keempat mengingkari.
Banyak
hal yang diketahui oleh Rasulullah saw mengenai hal ghaib, jauh sebelum
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, beliau sudah tahu bahwa
manusia itu dicipta dari tulang ekor dan akan dihidupkan kembali dari tulang
ekornya, hadits terkait hal ini baru pada era modern terbukti kebenarannya
melalui uji labiratoris, atau tentang lalat yang sebelah dari kedua sayapnya
mengandung penyakit dan sebelah lainnya mengandung obat penawarnya.
Rasulullah
saw juga mengetahui hakekat keimanan seseorang, dalam kapasitas sebagai
nabi yang mengetahui ilmu hakekat pernah dikonfirmasi oleh seorang sahabat yang
mengatakan bahwa temannya gigih di medan jihad hingga para sahabat salut
kepadanya dan mengira ia adalah ahli surga. Ketika hal itu dikonfirmasikan
kepada Rasulullah saw ternyata beliau mengatakan hal yang bertentangan dengan
shahabat itu karena shahabat itu hanya melihat secara syareat lahiriyah dan
beliau mengatakan berdasarkan hakekat yang beliau ketahui yang belum terjadi
rasulullah mengatakan bahwa kawannya itu ahli neraka, mendengar demikian,
shahabat itu mengatakan bahwa ia kawannya, jadi tahu persis apa yang
dilihatnya, karena tidak percaya apa yang sampaikan Nabi saw, ia mengamati
kawannya yang dikatakan Nabi saw sebagai ahli neraka, maka sesudah berakhirnya
perang, orang laki-laki itu luka-luka parah, kemudian di bawa ke perkemahan,
ternyata laki-laki itu tidak sabar dengan luka-lukanya dan shahabat itu melihat
sendiri, ia tewas bunuh diri dengan pedangnya, maka benarlah Allaah dan
Rasul-Nya, melihat hal itu shabat tadi menemui rasulullah dan membaca syahadat
dihadapan nabi, untuk memperteguh imannya yang tadinya belum yakin terhadap
kebenaran sabda nabi. Karena itu Nabi saw bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلٌ
أَهْلِ الْجَنَّةِ، فِيْمَا يَبْدُوْ لِلنَّاسِ، وَهُوَ مَنْ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ، وَإِنَّ الرُّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ، فِيْمَا يَبْدُوْ
لِلنَّاسِ،وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ). 76 – بَابُ: لاَ يَقُوْلُ فُلاَنُ
شَهِيْدٌ 2742
“Sesungguhnya
ada orang yang benar-benar beramal dengan amalan ahli surga menurut apa yang
terlihat manusia padahal ia adalah ahli neraka, dan ada orang yang benar-benar
beramal dengan amalan ahli neraka menurut apa yang terlihat manusia padahal ia
adalah ahli surga.” ( Hr. Bukhari ) [8]
Sempurnanya
Islam itu karena memiliki ajaran yang bersumber dari risalah nubuwwah, sehingga
Islam memiliki kedalaman ilmu hakekat dan kekuatan iman, sehingga dapat
mengatasi berbagai tantangan kehidupan sepanjang zaman.
3.
Ghaib mustatir.
Ghaib mustatir (tertutup) yaitu wujud zahir atau fisik tidak terlihat
mata karena pandangan terhalang oleh obyek lain berupa
benda
atau energi. Dasar dari ghaib mustatir adalah firman Allaah
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ
جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا
مَسْتُوْرًا ( الإسراء ٤٥)
Dan
apabila kamu membaca Al Quran niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang
yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup, (QS
Al Isra 45).
Dari
Asma bin Abu Bakar ra, ia berkata: ketika surat Tabbat yada Abi lahabiu watabb
turun, datanglah Al ‘Aura Ummu Jamil binti Harb, ia berbicara, dan tangannya
membawa batu pipih (tajam) pada perkakas kemudian ia berkata: “hina orang yang
menentang kami, urusannya kita abaikan, dan agamanya kami benci”, saat itu Nabi
saw duduk di masjid dan bersamanya Abu Bakar ra, setelah Abu Bakar melihatnya
maka berkata: Wahai Rasulullah ia telah berhadapan denganmu dan saya kuatir
meninggalkanmu! Rasulullah saw bersabda: Sungguh dia tidak melihatku, beliau
membaca ayat Quran dan berpegang teguh dengannya seperti yang beliau katakan.
Beliau membaca surat Al Isra ayat 45. Maka Al ‘Aura berhenti didepan Abu
Bakar ra dan tidak melihat Rasullah saw kemudian berkata: Hai Abu Bakar saya
beritahu bahwa kawanmu itu mengejekku! Abu Bakar berkata: tidak demi Tuhan
pemilik rumah ini, tidak mengejekmu. Ia berkata : maka ia mundur sambil
berkata: Quraisy sudah tahu bahwa sesungguhnya aku puterituannya.
Sa’id
bin Jubair ra berkata: ketika surat Tabbat yada Abi lahabiu watabb turun,
datanglah Al ‘Aura Ummu Jamil isteri Abu Lahab kepada Nabi saw dan Abu Bakar
bersamanya, maka Abu Bakar berkata: Kalau ia menuju kepadamu mungkin akan
mendengarmu dan menganiayamu, sungguh dia itu wanita yang kejam. Maka Nabi saw
bersabda: sesungguhnya Dia akan mendindingi antara aku dan dia maka dia tidak
akan melihatnya, kemudian Ummu Jamil berkata kepada Abu Bakar: Hai Abu Bakar
kawanmu itu telah menghinaku! Abu Bakar berkata: demi Allah tidak mengucapkan
syair dan tidak mengatakannya. Maka Ummu Jamil berkata: dan sungguh kalau kamu
orang yang benar, kemudian ia mundur dan kembali. Kemudian Abu Bakar nerkata:
wahai Rasulullah apakah ia tidak melihatmu? Beliau berkata: tidak selama
malikat ada di antara aku dan dia menutupiku hingga ia pegi.
Ka’ab
ra: dalam ayat ini Nabi saw ditutup dari kaum musyrikin dengan 3 ayat, ayat
dalam surat Al Kahfi 57, dalam surat An Nahl 108, dan surat Al Jatsiyah ayat
23, maka Nabi saw bila membaca ayat-ayat itu ditutup dari kaum musyrikin. Hal
ini juga di alami seorang dari penduduk Syam ketika ia datang ke negeri romawi
dan tinggal di sana, kemudian ia keluar untuk bekerja dengan membaca ayat ini,
ketika di jalan bersama orang orang mereka tidak melihatnya.
Qurthuby:
pada surat Yasiin pada ayat ke 6 disebutkan dalam Sirrah pada bab hijrah nabi
dan tempat tidur yang digantikan oleh Ali disebutkan bahwa saat Nabi saw
keluar mengambil tanah dengan tangannya maka kaum musyrikin tidak melihatnya,
kemudian tanah itu di sebarkan pada kepala mereka dan beliau membaca ayat dari
ayat 1 sampai 6, maka tidak tersisa seorangpun dari mereka kecuali semuanya
ditaburi tanah di kepalanya, kemudian beliau pergi.
Dan
di sebutkan : ayat ini turun pada kaum yang suka menganiaya nabi saat membaca
Al quran, dan mereka itu adalah Abu Jahal, Abu Sofyan, An Nadhar bin Al Harits,
Ummu Jamil isteri Abu Lahab dan Huwaithib, maka Allah menjadikan dinding bagi
nabi maka mereka tidak dapat melihatnya.
4.
Ghaib Muhajabah.
Ghaib
Muhajabah yaitu kondisi ketidak mampuan
melihat suatu obyek ghaib karena ada hijab dalam hatinya, hijab ini berujud
noda hitam yang terjadi karena perbuatan dosa, hal ini terjadi pada orang
mukmin bila sering melakukan dosa maupun orang kafir, dalam Quran disebutkan :
كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ
مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ، كَلاَّ إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوْبُوْنَ، (سورة المطففين ٤ا – ٥ا)
Sekali-kali
tidak (demikian), Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati
mereka. Sekali-kali tidak, Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar
tertutup Tuhan mereka. (QS Al Muthaffifiin 14 - 15).
Lafal
raana pada ayat di atas berarti noda hitam yang muncul setiap melakukan
perbuatan dosa, bila manusia tidak betaubat, noda dosa ini semakin banyak dan
menghitamkan hatinya maka menjadi hijab yang menutup hatinya. Diceritakan
hadits dari Abu Hurairah dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ
خَطِيْئَةً نَكْتَتْ فِي قَلْبِهِ نَكْتَةً سَوْدَاءً، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ
وَاسْتَغْفَرَ اللهَ وَتَابَ، صَقَلَ قَلْبُهُ، فَإِنْ عَادَ زَيَّا فِيْهَا،
حَتىَّ تَعْلُوْ عَلَى قَلْبِهِ، وَهُوَ(الرَّانُ) الَّذِي ذَكَرَ اللهُ فِي
كِتَابِهِ: “كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَّا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.
(رواه احمد و الترمذي و النسائ و بن ماجه و ان حبان و الحاكم ) هذا حديث حسن
صحيح.
Sungguh
hamba itu bila berbuat kesalahan timbul noda hitam dalam hatinya, maka
bila ia berhenti, memohon ampun dan bertaubat kepada Allah, hatinya menjadi
bersih, tetapi bila kembali bersalah, dipakaikan (dosanya tadi) dalam hatinya
hingga memenuhi hatinya, itulah Ar Raan yang di sebut Allah dalam kitab sucinya
: kalla bal raana ‘alaa quluubihim maa kaanuu yaksibuun. (Hr. Ahmad, Tirmidzi,
Nasaie, Ibnu Majah, Ibnu Hibbaan dan Al Hakim dengan sanad hasan shahih).
[9]
Lafal “kalla” berarti jangan sekali-kali yang ditujukan kepada kaum kafir
karena mereka telah mendindingi diri mereka dengan kekafiran dan dosa di dunia
maka di akherat kelak Allah akan menutup mereka (Mahjuubuun) dalam neraka,
sehingga tidak akan melihat Allah. Sebaliknya orang beriman yang selalu menjaga
dari perbuatan dosa dan membuka hatinya untuk berkomunikasi kepada Allah dalam
ibadahnya maka di surga kelak tidak akan ada dinding antara mereka dengan
Allaah sehingga dapat melihat Tuhannya sebagaimana firmannya Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
Melihat. QS: Al Qiyamah ayat 22-23.
Dari sinilah teori membuka hijab batin, yaitu dengan amal saleh yang dilakukan
dengan ikhlas, karena amalnya itu akan memancarkan cahaya (nur Allah) yang
menerangi kegelapan hatinya sehingga memiliki kepekaan batin dan perasaan
sebagai penerima ilmu hikmah dan ilham dari Allah. terkait hal ini nabi
bersabda:
فَإِذَا عَمَلَ الْمُؤْمِنُ عَمَلاً
ثَارَ فِيْ قَلْبِهِ نُوْرٌ (رَوَاهُ طَبْرَنِي) عَنْ سَهَلِ
بْنِ سَعْدٍ ۹٢۹٦)
maka
jika seorang mukmin beramal memancarlah sinar dalamhatinya. (Hr. Thabrani dari
Sahal bin Sa’id). [10]
[1]
Shahih Bukhari no 25 bab Iman no 2786
[2]
Shahih Muslim bab iman 96 hadits no 159.
[3]
Ibid 95 hadits no 155.
[4]
Shahih Muslim 96- 158.
[5]
Tafsir Qurthuby surat An Nisa.
[6]
Al Jaami’us Shaghir 3170.
[7]
Sunnan Tirmidzi.
[8]
Shahih Bukhari, pada bab no 76 syahiid, no 2742).
[9]
Al Jaami’us Shaghiir 2070.
[10]
. Jam’ul Jawaami’u no 9296..
http://darowi.wordpress.com/2012/04/14/perbedaan-nabi-dan-rasul/