PENDAHULUAN
Niat adalah
salah satu unsur
terpenting dalam setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia.Bahkan
dalam
setiap perbuatan yang baik dan benar dalam arti ibadah, dan menghadirkan
niat
hukumnya fardhu bagi setiap pelaksananya.Banyak hadis yang mencantumkan
seberapa penting arti menghadirkan niat dalam setiap perbuatan. Niat
juga
mengandung makna keikhlasan terhadap apa yang akan kita kerjakan.
Niat merupakan syarat diterima atau
tidaknya amal perbuatan,
dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat
karena
Allah ta’ala bukan karena yang lain. Waktu pelaksanaan niat dilakukan
pada awal
ibadah dan tempatnya di hati.Ikhlas niat semata-mata karena Allah ta’ala
dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.Seorang mu’min akan diberi
pahala
berdasarkan niatnya. Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah
jika
diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka akan bernilai ibadah.
Hadits
diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia
merupakan
pekerjaan hati, dan iman menurut konsepnya adalah membenarkan dalam
hati,
diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
PEMBAHASAN
Niat
menurut istilah bahasa artinya bertujuan, sedangkan menurut syariat
ialah
bertujuan untuk mengerjakan suatu hal yang di iringi dengan pekerjaan.
Hukum
niat adalah fardhu dalam semua amal ibadah, tempat niat ada di dalam
hati,
karena itu tidak cukup dengan hanya ucapan saja sedangkan hatinya lalai
dan
lupa, seperti yang di tegaskan oleh Hadist, yang artinya :
“sesungguhnya
bagi
setiap orang hanyalah sesuai dengan apa yang diniatkannya”.
Tiada
niat bagi yang lalai dan keliru. Seandainya orang yang berniat
melafadzkan
(mengucapkan) niatnya, maka hal itu lebih baik baginya karena niat akan
bertambah mantap dengan bantuan lisan.[1]
A.
Niat
dan Motivasi Beramal
1.
Riwayat
Hadist
عَنْ
أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِى
حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّا بِ يَنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ
رِيَاحِ بْنِ رَزَ احِ بْنِ عَدِ يِّ بْنِ عَدِ يِّ بْنِ كَعْنِ بْنِ
لُؤَيِّ بْنِ
غَالِبِ الْقُرَيْثِىِّ العَدَ وِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُوْلَاللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: أِنَّمَااْلأَ
عْمَالُ
بِالنِيَاتِ وَأِ نَّمَا لِكُلِّ اْمْرِىءٍِ مَانَوَى فَمَنْ كَانَتْ
هِجْرَ تُهُ
أِلَى اللهِ وَرَ سُوْ لِهِ فَهِجْرَ تُهُ أِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَمَنْ
كَانَتْ هِجْرَ تُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْامْرَ أَ ةٌ يَنْكِحُهَا
فَهِجْرَ
تُهُ أِلَى مَا هَجْرَ أِلَيْهِ.
(متفق على
صحته)
“Amir AL-Mu’min,
Abu Hafs Umar bin Al-Khathtab r.a. bin Nufail,
bin abdul Uzza, Bin Riyah, bin Abdullah bin Qurd Rajah bin “Adiy Ka’ab
bin
Luay, bin Galib keturunan Quraisy Al-Adawy, dia berkata bahwa dia
mendengar
Rasulullah SAW telah bersabda “Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu
amal,
bergantung pada niatnya. Dan yang dianggap bagi amal tiap orang apa yang
ia
niatkan. Maka barang siapa berhijrah (menguasai dari daerah kafir ke
daerah
Islam) semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasullullah.
2. Kosa Kata
1. أَبِيْ
حَفْصٍ
|
:
|
Bermakna Al-Asad (singa), sedang
Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin Khathab.
|
2. إِنَّمَا
|
:
|
(hanyalah) menunjukkan makna
pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang
tersebutkan dan
peniadaan hukum tersebut dari selainnya.
|
3. اْلأَعْمَالُ
|
:
|
Yang diinginkan di sini adalah
amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah).
|
4. لنِّيَّاتِا
|
:
|
Merupakan
jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah
maksud dan kehendak
|
5. امْرِئٍ
|
:
|
Artinya
adalah manusia, baik laki-laki maupun
perempuan
|
6. هِجْرَتُهُ
|
:
|
Secara bahasa
artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun
secara
istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena
takut
fitnah dan untuk menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini
adalah Hijrah dari Mekkah ke Madinah.
|
7. إِلَى اللهِ
|
:
|
Maksudnya adalah menuju keridhaan
Allah, baik dalam niat atupun tujuan.
|
8. لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا
|
:
|
Artinya adalah demi tujuan duniawi
yang ingin dicapainya.
|
3. Penjelasan
Hadist
Rasulullah mengeluarkan hadits di atas
untuk menjawab
pertanyaan salah seorang sahabat berkenaan dengan peristiwa hijrahnya
Rasulullah Saw.Dari Mekah ke Madinah, yang diikuti oleh
sebagian besar sahabat. Dalam hijrah itu
ada salah seorang laki-laki yang turut juga hijrah. Akan tetapi niatnya bukan untuk kepentingan perjuangan
Islam, melainkan menikahi seorang
wanita yang bernama Ummu Qais. Wanita itu rupanya sudah bertekan akan
turut
hijrah, sedangkan pada mulanya kali-laki itu memilih tinggal di Mekah. Ummu qais hanya bersedia di kawini
di empat tujuan hijrahnya Rasulullah Saw. Yakni Madinah, sehingga
laki-laki itu
pun ikut hijrah ke Madinah.
Dalam kamus umum bahasa Indonesia niat
di artikan sebagai
maksud tujuan sesuatu perbuatan.Berkenaan dengan niat, sebagian ulama
mendefinisikan niat menurut syara’, sebagai berikut:
اَلِنِّيَةُ هِيَ قَصَدُ فِعْلِ شَىْءٍ مُقْتَرَ نًا بِفِعْلِهِ
Artinya : Niat adalah menyengajakan
berbuat sesuatu disertai
(berbarengan) dengan perbuatan.
Orang yang berhijrah dengan niat ingin
mendapatkan
keuntungan dunia atau ingin mengawini seorang wanita, ia tidak akan
mendapat
pahala dari Allah SWT. Sebaliknya kalau seseorang hijrah karena ingin
mendapat
rida Allah SWT.maka ia akan mendapatkannya, bahkan keuntungan duniapun
akan
diraihnya.Sebenarnya, hijrah yang
dimaksud pada hadits di atas adalah berhijrah dari Mekah ke
Madinah
karena saat itu penduduk Mekah tidak merespon da’ wah Nabi, bahkan
mereka ingin
mencelakai Nabi dan umat Islam. Akan tetapi, setelah Islam kuat, hijrah
di atas
lebih tepat diartikan berpindah dari kemungkaran atau kebatilan kepada
hak.Namun
demikian.niat tetap saja sangat berperan dalam menentukan berpahala atau
tidaknya setiap hijrah, apapun bentuknya.
Para ulama telah sepakat bahwa niat
sangat penting dalam
menentukan sahnya suatu ibadah.Niat termasuk rukun pertama dalam setiap
melakukan ibadah.Tidaklah sah suatu ibadah, seperti shalat, zakat,
puasa, haji,
dan lain-lain, bila dilakukan tanpa niat atau dengan niat yang salah.
Niat dalam arti motivasi, juga sangat
menentukan diterima
atau tidaknya suatu amal oleh Allah SWT. Shalat umpamanya, yang dianggap
sah
menurut pandangan syara' karena memenuhi berbagai syarat dan rukunnya,
belum tentu diterima dan berpahala kalau
motivasinya bukan karena Allah, tetapi karena manusia, seperti ingin
dikatakan
rajin, tekun, dan sebagainya. Motivasi dalam melaksanakan setiap amal
harus
betel-betel ikhlas, hanya mengharapkan rida Allah saja.[2]sebagaimana
firman
Allah SWT :
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama
yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
dan yang
demikian Itulah agama yang lurus.”(Q.S. Al-Bayyinah: 5)
B. Menjauhi
Perbuatan Riya/Syirik Kecil
1. Riwayat
Hadist
Riya’ adalah syirik
kecil; demikianlah ungkapan yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah
satu
haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya.
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، قَالُوْا وَمَا
الشِّرْكُ
اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الرِّيَاءُ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّيَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْ تُرَاءُوْنَ فِي
الدُّنْيَا
هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ (رواه أحمد)
“Sesungguhnya
sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik
kecil.” Para
sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah SAW?”, Beliau
menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat, terhadap
mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu
di
dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?”
(HR.
Ahmad)
2. Kosa
Kata
Paling
takut (af’al tafdil)
|
:
|
أَحْوَفَ
|
Aku
takut (akan)
|
:
|
أَخَافُ
|
Syirik
(menyekutukan Allah)
|
:
|
اَلثِّرْكُ
|
Riya
(berbuat sesuatu bukan Karena Allah Tetapi karena ada niat selainnya)
|
:
|
اَلِرِّ يَاءُ
|
3. Penjelasan
Hadist
Riya adalah
memaksudkan amalan yang dilakukan seseorang guna mendapatkan keridhoan
manusia,
baik berupa pujian, ketenaran, atau sesuatu yang diinginkannya selain
Allah
SWT. Dr. Sayid Muhammad Nuh, menggambarkan adanya tiga sebab yang
memotori
timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di
masyarakat. Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga,
menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini
didasari
dari hadits, yang diriwayatkan Imam Bukhari yaitu :
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan
bahwa seorang Badui bertanya
kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena
kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang,
dan
seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah SAW
menjawab
“Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka
dia fi
sabilillah.” (HR. Bukhari)
Imam Al-Ghazali, dalam kitab Ihya
Ulum Ad-Din, membagi
riya menjadi beberapa tingkat, yaitu:
1. Tingkatan paling berat,
yaitu orang yang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya semata-mata
dan
tidak mengharapkan pahala. Misalnya, seseorang yang melakukan shalat
kalau di
hadapan orang banyak, sedangkan apabila sendirian dia tidak
melaksanakannya,
bahkan kadang-kadang shalat tanpa berwudlu terlebih dulu.
2. Orang yang beramal dan
mengharapkan pahala, tetapi harapannya sangat lemah karena dikalahkan
oleh riya.
Dia beramal ketika dilihat orang, sedangkan bila sendirian amalnya
sangat
sedikit. Misalnya seseorang yang memberikan sedekah banyak di hadapan
orang,
tetapi kalau sendirian ia memberikan sedikit saja sedekahnva.
3. Niat memperoleh pahala dan
riya seimbang. Kalau dalam suatu ibadah hanya terdapat salah satunya
saja,
misalnya menclapat pahala, tetapi ia tidak bisa riya, ia tidak mau
melakukan
ibadah. Demikian pula sebalikiiya.Hal itu berarti merusak perbuatan
baik, yakni
bercarnpurnya pahala dan dosa.
4. Riya (dilihat orang) hanya
pendorong untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orang pun,
dia
tetap melakukan ibadah. Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau
dilihat
orang.
Menurut Sayyidina Ali r.a. tanda-tanda
orang riya ada tiga:
1. Malas beramal kalau
sendirian.
2. Semangat beramal kalau
dilihat banyak manusia.
3. Amalnya bertambah banyak
kalau dipuji oleh manusia dan berkurang kalau dicela manusia.
Syaqiq bin Ibrahim, yang diikuti oleh
Abu Laits Samarqandi,
berpendapat bahwa ada tiga perkara yang menjadi benteng amal, yaitu:
1. Hendaknya mengakui bahwa
aural ibadahnya adalah pertolongan Allah SWT., agar penyakit ujub dalam
hatinya
hilang;
2. Semata-mata hanya mencari
rida Allah SWT. agar hawa nafsunya teratur.
3. Senantiasa hanya mengharap
rida Allah SWT. agar tidak timbal rasa tamak atau riya.[3]
Dalam Al-Quran, banyak ayat yang
menerangkan kerugian
bagi orang-orang yang suka riya dalam beramal. Bahkan, dengan tegas
dinyatakan bahwa orang yang riya akan celaka walaupun dia rajin
beribadah.Allah
SWT. berfirman:
Artinya : “Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat
riya,
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Qs. Al-Maun: 4-7)
Selain itu, riya pun akan menghapus
pahala amal ibadah
sebagaimana firman Allah :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena
riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah,
Kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (Tidak
bertanah).mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (Qs.
Al-Baqarah :
264)
4.
Cara Menghindarkan Diri Dari Riya/Syirik Kecil
Para ulama berupaya memberikan
berbagai jalan guna menemukan kiat-kiat agar
terhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam jiwa.
Diantara cara yang mereka tawarkan adalah:
a. Menghadirkan sikap muraqabatullah,
yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah senantiasa mengetahui segala
gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan yang tergores dan
terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun. Dalam
sebuah hadits Rasulullah SAW mengungkapkan, “..dan sempurnakanlah amal,
karena
Sang Pengawas (Allah) Maha Melihat.
b. Seseorang perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan
riya, seluruh
amalannya akan tidak memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang
sia-sia
dan akan musnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan apapun dari
usahanya sendiri.
c. Dirinya
pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui apa
yang
terdapat di balik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia
apalagi
di akhirat kelak.
d.
Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya,
seseorang dapat diharamkan dari surga Allah. Dalam hadits digambarkan, bahwa Rasulullah SAW menangis,
karena takut
umatnya berbuat riya’. Kemudian beliau berkata, “Barang siapa yang
belajar ilmu
pengetahuan bukan kerena mencari keridhoan Allah tapi karena keinginan
duniawi,
maka dia tidak akan mencium baunya surga.”
e. Banyak
berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang menjalankan suatu
amalan,
yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal ini sebaiknya segera
diterapi
dengan dzikir.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Niat berperan penting
dalam ajaran
Islam, khususnya dalam perbuatan yang berdasarkan perintah sara’, atau
menurut
sebagian ulama, dalam perbuatan yang mengandung harapan untuk
mendapatkan
pahala dari Allah SWT, niat juga akan menentukan nilai, kualitas, serta
hasilnya nanti di hadapan Allah SWT.
Para ulama sepakat
bahwa niat sangat
penting dalam menentukan sahnya suatu ibadah, niat juga termasuk rukun
pertama
dalam setiap melakukan ibadah.Tidaklah sah suatu ibadah bila di lakukan
tanpa
niat atau dengan niat yang salah.
Sedangkan Riya artinya usaha dalam
melaksanakan ibadah bukan
dengan niat menjalankan kewajiban dan menunaikan perintah Allah SWT.,
melainkan
bertujuan untuk dilihat orang, baik untuk kemasyhuran, mendapat pujian,
atau
harapan – harapan lainnya dari selain Allah.
Sebagaimana telah disinggung dalam
bahasa niat, orang yang
beribadah dengan riya tidak akan mendapat pahala dari Allah SWT. Hal itu
karena
dalam ibadahnya tidak lagi murni karena Allah melainkan karena
makhluk-Nya.Tak
heran kalau riya sebagaimana bunyi hadis di atas dikategorikan sebagai
syirik
kecil.Artinya dia mempercayai Allah SWT. Sebagai Tuhannya, tetapi
pengabdiannya
tidak utuh kepada-Nya, melainkan kepada Makhluk-Nya.
Dengan kata lain,
hakikat amal
mereka adalah penipuan belaka. Mereka melakukan ibadah bukan karena
menjalankan
perintah-Nya, apalagi demi mengharapkan rida-Nya, melainkan untuk
mendapatkan
pujian dari manusia, dan itulah di antara perbuatan yang biasa dilakukan
oleh
orang-orang munafik.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat. Al-Hadist Aqidah, Ahklak, Sosial, dan Hukum.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Nhasit, Mansyur Ali. Mahkota Pokok-Pokok Hadist Rasulullah SAW.
Bandung: CV Sinar Baru, 1993.
Shalih al-‘utsaimin, syaikh Muhammad.Syarah Hadist Arbain. Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2003.
http://tanpahentimencariilmu.blogspot.com/2011/10/tugas-makalah-hadistniatmotivasi_05.html
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2011/03/makalah-hadits-tentang-niat-ikhlas-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar