MAKALAH
PENDIDIKAN ISLAM SETELAH KEMERDEKAAN
INDONESIA
Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam kepada Ibu DRA. Fathul
Jannah. M. SI sebagai fasilitator
Disusun
Oleh : Kelompok VI
Darul Zhulfi 10.1102.0007
Nur Sodik 10.1102.0032
Lisda Nur A. 10.11.02.0020
Verdy Evansyah 10.1102.0043
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI KEPENDIDIKAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SAMARINDA
2012
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum. Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur
kehadirat Allah SWT. atas perkenan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul Pendidikan
Islam Setelah Kemerdekaan Indonesia. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada dosen mata kuliah Sejarah Pendidikan Islam yaitu ibu DRA. Fathul Jannah. M.
SI. yang telah membimbing sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini mampu
memberikan wawasan pengetahuan dan pemahaman bagi para pembaca khususnya bagi
teman-teman mahasiswa lainnya dalam memahami Sejarah Pendidikan Islam Setelah Kemerdekaan.
Pada akhirnya, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan dan menyempurnakan
makalah ini. Dan tak lupa pula penulis
meminta kepada teman-teman untuk memberikan kritik serta dan saran yang
membangun bagi penulisan makalah selanjutnya.
Samarinda, 10 April 2012
Penulis
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan merupakan
faktor penting yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam memajukan suatu
bangsa, bahkan peradaban manusia. Pendidikan yang rendah akan terus mengundang
penjajah, baik secara fisik maupun non fisik, seperti penjajahan intelektual,
pemikiran, ekonomi, social, poliktik, dan agama. Hingga saat ini Indonesia masih
di anggap sebagai Negara yang hampir keseluruhan memeluk agama islam dan
terbesar di dunia yang sangat di perhitungkan oleh Negara lain. Hal itu tidak
terjadi dengan sendirinya, tetapi dengan melalui proses yang cukup panjang,
yaitu melalui jasa para da’i, mubalig, ulama, dan pemimpim di bidang islam.
Jasa-jasa mereka sehingga Indonesia bisa menjadi seperti sekarang ini.
Merdekanya bangsa Indonesia diharapkan
bisa menggali segala potensi yang ada, sehingga dapat digunakan dan
dikembangkan untuk tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Setelah kemerdekaaan indonesia indonesia memiliki tantangan baru
dalam dunia pendidikan, banyak upaya untuk memajukan pendidikan dari awal
merdekanya Indonesia sampai sekarang ini.
Dalam makalah ini kami ingin membahas
tentang pendidikan setelah kemerdekaan, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru,
dan Reformasi.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
Pendidikan Islam pada Masa Orde lama
2. Bagaimana
Pendidikan Islam pada Masa Orde Baru
3. Bagaimana
Pendidikan Islam pada Masa Reformasi
II.
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Pada Masa Orde Lama (Zaman Kemerdekaan)
Perkembangan pendidikan
semenjak Indonesia mencapai kemerdekaan memberikan gambaran yang penuh dengan
kesulitan, tetapi makin lama makin cerah. Kesulitan yang pertama ialah gedung
sekolah banyak yang rusak akibat peperangan semenjak akhir zaman pendudukan Jepang
sampai usaha-usaha belanda untuk kembali menjajah Indonesia sesudah usainya
perang dunia kedua. Gedung-gedung sekolah dan alat-alat perlengkapan rusak,
terbakar. Dari pemerintah Indonesia pada permulaan dalam bidang pendidikan ialah
pengangkatan tokoh-tokoh pendidik yang telah berjasa dalam zaman kolonial
menjadi mentri seperti Ki Hadjar Dewantara, Moh. Syafei dari INS, Mr. Suwandi
yang mengganti ejaan bahasa Indonesia yang di susun sebelumnya oleh orang
belanda.[1] pendidikan
islam setelah kemerdekaan mulai mendapat kedudukan yang sangat penting dalam
sistem pendidikan nasional, baik di sekolah negeri atau swasta. Usaha untuk itu
di mulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga sebagaimana yang di
anjurkan oleh Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat (BPKNP) 27 Desember menyebutkan bahwa:
Madrasah
dan Pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan pencerdasan rakyat
jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakatIndonesia pada umumnya,
hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata tututan dan bantuan
material dari pemerintah.[2]
Di Sumatra, pemeriksa
agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada kepala pengajaran agar
pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah di terapkan dengan resmi dan
guru-gurunya di gaji seperti guru-guru umum dan usul pun di terima.[3]
Selain itu pendidikan agama di sekolah juga mendapat tempat yang teratur,
seksama, dan penuh perhatian. Madrasah dan Pesantren juga mendapat perhatian.
Untuk itu dibentuk Departemen Agama pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas
mengurusi penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah umum dan Madrasah serta
pesantren-pesantren.
Pendidikaan islam tahap
demi tahap di majukan. Istilah pesantren yang dulu hanya mengajar agama di
surau dan menolak moderinitas pada zaman colonial, sudah mulai beradaptasi
dengan tuntutan zaman. Bahkan, kini pesantren ikut mendirikan madrasah dan
sekolah umum sehingga pemuda islam di beri banyak pilihan. Upaya ini dilakukan
untuk menata diri di tengah-tengah realitas social modern dan kompleks.
Pesantren juga berkembang dengan berdirinya perguruan tinggi islam.
Sekolah agama, termasuk madrasah,
ditetapkan sebagai model dan sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan
Undang-undang 1945. ekstensi pendidikan agama sebagai komponen pendidikan
nasional dituangkan dalam Undang-undang pokok pendidikan dan Pengajaran Nomor 4
Tahun 1950, bahwa belajar disekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan
dari Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.[4]
1.
Perkembangan Pendidikan Agama Islam
Mempelajari perkembangan
madrasah terkait erat dengan peran Departemen Agama sebagai andalan politis
yang dapat mengangkat posisi madrasah sehingga memperoleh perhatian yang terus
menerus dari kalangan pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan
usaha-usaha keras yang sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan,
Hasyim Asy’ari dan Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih
tajam mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Madrasah sebagai lembaga penyelenggara pendidikan diakui oleh negara secara formal pada tahun 1950. Undang-Undang No. 4 1950 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah pasal 10 menyatakan bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan Departemen Agama, sudah dianggap memenuhi kewajiban belajar. Untuk mendapat pengakuan dari Departemen Agama, madrasah harus memberikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok paling sedikit enam jam seminggu secara teratur disamping mata pelajaran umum.
Jenjang
pendidikan dalam sistem madrasah terdiri dari tiga jenjang. Pertama, Madrasah
Ibtidaiyah dengan lama pendidikan 6 tahun. Kedua, Madrasah Tsanawiyah Pertama
untuk 4 tahun. Ketiga, Madrasah Tsanawiyah Atas untuk 4 tahun. Perjenjangan ini
sesuai dengan gagasan Mahmud Yunus sebagai Kepala Seksi Islam pada Kantor Agama
Provinsi. Sedangkan kurikulum yang diselenggarakan terdiri dari sepertiga
pelajaran agama dan sisanya pelajaran umum. Rumusan kurikulum seperti itu
bertujuan untuk merespon pendapat umum yang menyatakan bahwa madrasah tidak
cukup mengajarkan agama dan untuk menjawab kesan tidak baik yang melekat kepada
madrasah, yaitu pelajaran umum madrasah tidak akan mencapai tingkat yang sama
bila dibandingkan dengan sekolah negeri/umum.
Perkembangan
madrasah yang cukup penting pada masa Orde Lama adalah berdirinya madrasah
Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Tujuan
pendiriannya untuk mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap mengembangkan
madrasah sekaligus ahli keagamaan yang profesional. PGA pada dasarnya telah ada
sejak masa sebelum kemerdekaan. Khususnya di wilayah Minangkabau, tetapi
pendiriannya oleh Departemen Agama menjadi jaminan strategis bagi kelanjutan
madrasah di Indonesia.
Sejarah
perkembangan PGA dan PHIN bermula dari progam Departemen Agama yang ditangani
oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab bagian pendidikan.
Pada
tahun 1950, bagian itu membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah profesional
keguruan: (1) Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama
Islam (SGHAI). SGAI terdiri dari dua jenjang: (a) jenjang jangka panjang yang
ditempuh selama 5 tahun dan diperuntukkan bagi siswa tamatan SR/MI, dan (b)
Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun diperuntukkan bagi lulusan
SMP/Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun diperuntukkan
bagi lulusan SMP/Madrsah Tsanawiyah.
ada
tahun 1951, sesuai dengan Ketetapan Menteri Agama 15 Pebruari 1951, kedua
madrasah keguruan tersebut di atas diubah namanya. SGAI menjadi PGA (Pendidikan
Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). Pada tahun ini,
PGA Negeri didirikan di Tanjung Pinang, Kotaraja, Padang, Banjarmasin, Jakarta,
Tanjung Karang, Bandung dan Pamekasan. Jumlah PGA pada tahun ini sebanyak 25
dan tiga tahun kemudian, 1954, berjumlah 30. sedangkan SGHA pada tahun 1951
didirikan di Aceh, Bukit Tinggi dan Bandung. Pada masa H. M. Arifin Tamyang
menjadi kepala “Jawatan Pendidikan Agama” adalah badan yang merupakan
pengembangan dari bagian pendidikan di Departemen Agama.Ketentuan-ketentuan
tentang PGA dan SGHA diubah. PGA yang 5 tahun diubah menjadi 6 tahun, terdiri
dari PGA Pertama 4 tahun dan PGA Atas 2 tahun, PGA jangka pendek dan SGHA
dihapuskan. Sebagai pengganti SGHA bagian “d” didirikan PHIN ( Pndidikan Hakim
Islam Negeri) dengan waktu belajar 3 tahun dan diperuntukkan bagi lulusan PGA
pertama.
Perguruan
Tinggi Islam khusus terdiri dari fakultas-fakultas keagamaan mulai mendapat
perhatian pada tahun 1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, fakultas agama UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah. Pada tanggal 26 September 1951
secara resmi dibuka perguruan tinggi baru dengan nama PTAIN ( Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri) dibawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di
Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini bertujuan
sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang berdinas di penerintahan (
Kementerian Agama) dan untuk pengajaran agama di sekolah. Pada tahun 1960 PTAIN
dan ADIA disatukan menjadi IAIN.
Begitulah
keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah Orde Lama.
2. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum
Peraturan
resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum, dicantumkan dalam
Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 No. 4 dan Undang-Undang Pendidikan tahun
1954 No. 20, (tahun 1950 hanya berlaku untuk Republik Indonesia Serikat di
Yogyakarta). Undang-Undang Pendidikan tahun 1954 No. 20 berbunyi :
a. Pada
sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama, orang tua murid
menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut atau tidak.
b. Cara
menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui
ketetapan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) bersama dengan
Menteri Agama. Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran
agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas para murid.
Sebelumnya,
telah ada ketetapan bersama Departemen PKK dan Departemen Agama yang
dikeluarkan pada 20 Januari 1951. Isi dari ketetapan itu adalah:
a.
Pendidikan
agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama 2 jam per minggu.
b.
Di
daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya di Sumatera, kalimantan,
dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai pada kelas I SR dengan
catatan bahwa mutu pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang di bandingkan
dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya di berikan mulai kelas IV.
c.
Di
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan),
diberikan pendidikan agama sebanyak 2 jam per minggu, sesuai dengan agama para
murid.
d.
Untuk
pelajaran ini, harus hadir sekurang-kurangnya 10 orang murid untuk agama
tertentu. Selama berlangsungnya pelajaran agama, murid yang beragama lain boleh
meninggalkan ruang belajar.
e.
Sedangkan
kurikulum dan bahan pelajaran ditetapkan oleh Menteri Agama dengan persetujuan
Menteri PKK.
B. Pendidikan Pada Masa Orde Baru
Pemerintahan memandang bahwa agama
mempunyai kedudukan dan peranan sangat penting dan strategis. Peran utama agama
sebagai landasan spiritual, moral dan etika dalam pembangunan nasional, agama
juga berpengaruh untuk membersihkan jiwa manusia dan kemakmuran rakyat.[5]
Agama sebagai sistem nilai seharusnya dipahami dan diamalkan oleh setiap
individu, warga dan masyarakat hingga akhirnya dapat menjiwai kehidupan bangsa
dan negara. Di tengah
berkobarnya revolusi fisik, pemerintah Indonesia tetap membina pendidikan
agama. Pembinaan agama tersebut secara formal institusional dipercayakan kepada
Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu,
dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut
untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun
swasta.
Maka sejak itulah terjadi semacam dualisme pendidikan di
Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen
Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama
maupun di sekolah-sekolah umum. Keadaan seperti ini sempat dipertentangkan oleh
pihak-pihak tertentu yang tidak senang dengan adanya pendidikan agama, terutama
golongan komunis, sehingga ada kesan seakan-akan pendidikan agama khususnya
Islam, terpisah dari pendidikan.
Pada awal-awal masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan
tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan Orde Lama.
Pada tahap ini Madrasah belum di pandang sebagai bagian dari siste pendidikan
nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan
menteri agama. Hal ini di sebabkan pendidikan Madrasah belum di dominasi oleh
muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum berstandar, memiliki
struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh
pemerintah. Menghadapi kenyataan tersebut di atas, langkah pertama dalam
melakukan pembaruan ini adalah di keluarkannya kebijakan Menteri Agama tahun 1967
sebagai respons terhadap TAP MPRS No. XXVII Tahun 1966[6]
dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah. Formalisasi dilakukan
dengan menegerikan sejumlah madrasah dengan kriteria tertentu yag di atur oleh
pemerintah di samping mendirikan madrasah-madrasah yang baru.[7]
Sedangkan strukturisasi di lakukan dengan mengatur perjenjangan dan perumusan
kurikuum sekolah-sekolah yang berada di bawah Depdikbud.[8]
Salah satunya seperti tercantum pada Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII Tahun 1966 menetapkan
pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah
dasar samai ke universitas-universitas Negeri.[9]
Dari uraian da atas di pahami bahwa upaya melakukan
formalisasi struturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah pada masa
Orde Baru. Proses penegerian madrasah swasta tampaknya di dorong oleh animo
masyarakat yang cukup tinggi, namun di sisi lain keinginan untuk sejajar dengan
sekolah-sekolah umum yag sudah berstatus negeri, sehingga dengan demikian
output lembaga madrasah juga dapat meiliki peluang dan kesempatan untuk duduk
dan memegamg jabatan pada instansi-instansi yang ada. Sementara
upayastrukturisasi kurikulum dengan memasukkan mata pelajaran pendidikan agama
ke sekolah-sekolah ke jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi tampaknya
di dorong oleh keinginan melahirkan output yang tidak “hampa” dari nilai
regilius. Agaknya hal ini merupakan salah satu faktor yang memengaruhi berbagai
kebijakan pemerintah terhadap pendidikan islam di Nusantara.[10]
1. Pendidikan
Agama dan Sistem Pendidikan Nasional
Melalui perjalanan panjang proses
penyusunan sejak tahun 1945-1989 UU nomor 2 tahun 1989, sebagai usaha untuk
mengintegrasikan pendidikan Islam dan umum. Untuk mengembangkan pendidikan
Islam haruslah mempunyai lembaga-lembaga pendidikan, sehingga menjadi "lahan
subur" tempat persemaian generasi baru. Artinya pendidikan Islam harus mampu
:
a.
Membedakan akar peserta didik dari
semua kekangan dan belenggu.
b.
Membangkitkan indra dan perasaan anak
didik sebagai sarana berfikir.
c.
Membekali ilmu pengetahuan
2.
Pengintegrasian Pelajaran Agama dan Pelajaran Umum
Integrasi
merupakan pembauran sesuatu sehingga menjadi kesatuan, sedangkan integrasi
pendidikan adalah proses penyesuaian antara unsur-unsur yang berbeda sehingga
mencapai suatu keserasian fungsi dalam pendidikan dan integritas pendidikan
memerlukan integritas kurikulum atau secara khusus memerlukan integritas
pelajaran. Karena sasaran akhir dari pendidikan (agama) adalah untuk meciptakan
manusia yang bisa mengintegrasikan diri, mampu menggunakan imannya dalam
menjawab tantangan hidup dan mampu memanusiakan sesamanya dengan berbagai
kehidupan yang sejahtera yang dikaruniakan Allah pada manusia. Dengan
kata lain, pendidikan dimaksudkan untuk memajukan manusia dalam mengambil
bagian secara aktif, kreatif dan kritis.
Untuk
melaksanakan suatu yang lebih baik dari masa lalu, pelajaran agama dan mata
pelajaran umum ditentukan guru yang memilki integritas keilmuan yang memadai
dalam pendidikan. Sehingga bisa menemukan cara untuk dapat menghubungkan
bagian-bagian dari suatu bidang dari suatu bidang studi, satu pelajaran dengan
mata pelajaran yang lain.
C. Pendidikan
Islam Pada masa Reformasi
Reformasi merupakan istilah yang amat populer pada
masa krisis dan menjadi kata kunci dalam membenahi seluruh tatanan hidup
berbangsa dan bernegara, termasuk reformasi dibidang pendidikan. Secara
konstitusional ditetapkan bahwa negara Indonesia berdasarkan pada agama.
Artinya, bahwa negara Indonesia melindungi dan menghargai kehidupan beragama
dari seluruh warga negara Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat global akan memasuki abad yang penuh dengan persaingan bebas. Oleh
kerana itulah kecenderungan masa kini akan ditandai oleh ledakan pengetahuan
dan ledakan informasi. Reformasi pendidikan merupakan hukum alam yang akan
mencari jalannya sendiri, khususnya memasuki masa yang sangat ketat dengan persaingan. Dengan adanya
sumber daya manusia yang unggul dalam penguasaan berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka bangsa Indonesia akan dapat mengerakkan sektor- sektor industri
secara efisien dan produktif serta mampu bersaing di pasar dunia. Dalam konteks
ke-Indonesiaan, sebagai salah satu desakan arus reformasi, perubahan paradigma
dari sentralisasi menjadi desentralisasi memberikan tantangan tersendiri bagi
aspek kehidupan, tak terkecuali dunia kependidikan.
Pada era globalisasi seperti ini, pendidikan harus
melakukan reformasi dan inovasi dalam proses belajar mengajar secara terus
menerus. Oleh karena itu, dalam era globalisasi saat ini sektor pendidikan
perlu difungsikan sebagai ujung tombak untuk mempersiapkan sumber daya manusia
dan sumber daya bangsa agar memiliki unggulan kompetetif dalam berbangsa dan
dan bernegara ditengah-tengah kehidupan dunia yang semakin global. Maka
keterkaitan antara proses pendidikan dan kehidupan politik dalam arti bahwa
pendidikan tidak terlepas dari politik dan politik itu sendiri adalah
pendidikan.
Pendidikan adalah metode yang paling fundamental di
dalam kemajuan sosial dan reformasi. Proses pendidikan yang berakar dari
kebudayaan, berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang
cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan
suatu perubahan paradigma dari pendidikan untuk menghadapi proses globalisasi
dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi
tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia, oleh karena itu,
arah perubahan paradigma baru pendidikan Islam diarahkan untuk terbentuknya
masyarakat madani Indonesia tersebut.
Dalam
bidang pendidikan kabinet reformasi hanya melanjutkan program wajib belajar 9
tahun yang sudah dimulai sejak tahun 1994 serta melakukan perbaikan sistem
pendidikan agar lebih demokratis.[11]
Tugas jangka pendek Kabinet Reformasi yang paling pokok adalah bagaimana
menjaga agar tingkat partisipasi pendidikan masyarakat tetap tinggi dan tidak
banyak yang mengalami putus sekolah.
Dalam
bidang ekonomi, terjadi krisis yang berkepanjangan, beban pemerintah menjadi
sangat berat. Sehingga terpaksa harus memangkas program termasuk didalamnya
program penyetaraan guru-guru dan mentolerir terjadinya kemunduran penyelesaian
program wajib belajar 9 tahun. Sekolah sendiri mengalami masalah berat
sehubungan dengan naiknya biaya operasional di suatu pihak dan makin menurunnya
jumlah masukan dari siswa. Pembangunan di bidang pendidikan pun mengalami
kemunduran.
Beberapa
hal yang menyebabkan program pembangunan pemerintah dalam sektor pendidikan
belum terpenuhi secara maksimal.
1. Distribusi pembangunan sektor
pendidikan kurang menyentuh lapisan sosial kelas bawah.
2. Kecenderungan yang kuat pada wilayah
pembangunan yang bersifat fisik material, sedangkan masalah-masalah kognitif
spiritual belum mendapatkan pos yang strategis.
3. Munculnya sektor industri yang
membengkak, cukup menjadikan agenda yang serius bagi pendidikan Islam di Indonesia
pada masa pembangunan ini.
4. Perubahan-perubahan sosial yang
berjalan tidak berurutan secara tertib, bahkan terkadang eksklusif dalam
dialektik pembangunan sebagaimana tersebut di atas. Semua hal diatas adalah
faktor penyebab dari tidak terpenuhinya beberapa maksud pemerintah dalam
menjalankan pembangunan dalam sektor pendidikan agama khususnya bagi Islam. Semua
itu sangat memprihatinkan apalagi jika dibiarkan begitu saja tanpa upaya
retrospeksi atas kegagalan tersebut yang harus disadari adalah lembaga
pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar
bagi jalannya pembangunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang
pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia
telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
Dari titik pandang ini pendidikan
Islam, baik secara kelembagaan maupun inspiratif, memilih model yang dirasakan
mendukung secara penuh tujuan dan hakikat pendidikan manusia itu sendiri, yaitu
membentuk manusia mukmin yang sejati, mempunyai kualitas moral dan intelektual.[12]
Selama ini banyak dijumpai pesantren-pesantren yang tersebar dipelosok tanah
air, terlalu kuat mempertahankan model tradisi yang dirasakan klasik, sebagai
awal dari system pendidikan itu sendiri.[13]
Tapi, pada saat ini sudah banyak pesantren dan madrasah yang modern dengan
mengacu kepada tujuan muslim dan memperhatikan tujuan makro dan mikro
pendidikan nasional Indonesia, maka pendidikan pesantren akan memadukan produk
santri untuk memiliki outputnya, agar memiliki 3 tipe lulusan yang terdiri
dari:
a. Religius skillfull people yaitu insan muslim
yang akan menjadi tenaga-tenaga terampil, ikhlas, cerdas, mandiri, iman yang
tangguh sehingga religius dalam tingkah dan prilaku, yang akan mengisi
kehidupan tenaga kerja didalam berbagai sector pembangunan.
b. Religius Community leader, yaitu
insane Indonesia yang ikhlas, cerdas dan mandiri akan menjadi penggerak yang
dinamis dalam transformasi sosial dan budaya dan mampu melakukan pengendalian
sosial (sosial control)
c. Religius intelektual, yaitu
mempunyai integritas kukuh serta cakap melakukan analisa ilmiah dan concern
terhadap masalah-masalah ilmiah.[14]
1. Lembaga Pendidikan Islam Pada Zaman
Reformasi
Lahirnya Undang-Undang sistem pendidikan Nasional namor 20
tahun 2003, sangat bisa di katakan membuka peluang yang cukup luas bagi pengembangan
pendidikan Islam untuk lebih maju. Banyak pihak merasa bahwa Undang-Undang
tersebut merupakan pencerahan dalam mengembangkan, dan meningkatkan sistem
pendidikan Islam di Indonesia.
Banyak kalangan menilai bahwa sudah saatnya pendidikan islam
bersikap rasional dan lebig berorientasi pada kebutuhan masyarakat luas,
apalagi sekarang ini pendidikan islam harus mempersiapkan sumberdaya di masa
mendatang, dan bukan semata-mata sebagai alat untuk membangun pengaruh politik
atau alat dakwah dalam arti sempit. Kurang tertariknya masyarakat reformasi
untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan karena telah terjadi
pergeseran nilai atau ikan agama yang mulai memudar, melainkan sebagian orang
merasa kurang menjanjikan dengan masa depan dan kurang responsif terhadap
tuntutan saat ini.
III.
ANALISIS
Pada masa awal kemerdekaan adalah masa
pembaharuan pada dunia pendidikan, pemerintah banyak mengangkat para tokoh
pendidik untuk membangun dunia pendidikan, agar bisa lebih baik. Sejak pada masa
orde lama dan orde baru pemisahan sistem pengelolaan pendidikan nasional
dan pendidikan islam masih di
pertahankan. Namun pengelolaan pendidikan Islam masih mengalami nasib yang
kurang baik di banding pendidikan umum.
Pada masa
reformasi merupakan sebuah proses panjang dan di dalamnya terdapat
bermacam-macampelaku dalam latar belakang gagasan, kepentingan, serta prilaku
yang kasa mata. Termasuk gerakan umat islam yang sangat menghendaki perubahan
dalam sistem pendidikan islam agar menjadi lebih baik dibanding pendidikan
islam pada masa sebelum era reformasi.
Di lihat
dari sudut pandang pada pendidikan islam sekarang masih tidak jauh berbeda
dengan sebelum-sebelumnya karena masih sedikitnya pasilitas yang di berikan
oleh pemerintah kepada lembaga-lembaga pendidikan islam, di bandingkan dengan
pendidikan umun, pendidikan islam masih sangat jauh berbeda. Padahal masyarakat
mengetahui bahwa pendidikan agama adalah suatu bentuk jati diri anak didik yang
baik, bermoral dan taat beragama.
Terakhir
kami pemakalah melihat bahwa pendidikan umum dan pendidikan agama memang sangat
berpengaruh untuk menciptakan penerus-penerus yang lebih baik, untuk memajukan
negeri ini.
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari pemaparan makalah ini tentang
pendidikan islam di Indonesia pada masa kemerdekaan dan masa orde baru hingga
menuju pada masa abad 21 maka dapat disimpulkan bahwa, pendidikan Islam pada
masa kemerdekaan dan Orde Beru, masa itu banyak jalan yang ditempuh untuk
menyetarakan antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Hal ini bisa
dilihat dari SKB 2 Menteri tentang sekolah umum dan agama. Dengan adanya SKB
tersebut, maka anak-anak yang sekolah agama bisa melanjutkan ke sekolah yang
lebih tinggi. Kemudian untuk mengikis dualisme pendidikan bisa dilakukan dengan
cara pengintegrasian antara pelajaran umum dan agama, walaupun dualisme itu
masalah klasik yang tidak mudah untuk dihapus. Namun dengan adanya UU tentang
pendidikan nomor 2 bisa diharapkan mempertipis dikotomi pendidikan.
Pendidikan yang islami adalah
pendidikan yang mendasarkan konsepsinya pada ajaran tauhid. Dengan dasar ini
maka orientasi pendidikan islam di arahkan pada upaya mensucikan diri dan
memberikan penerangan jiwa, sehingga setiap diri manusia mampu meningkatkan
dirinya dari tingkatan iman ke tingkat ihsan yang melandasi seluruh bentuk
kerja kemanusiannya ( amal saleh).
Dengan demikian pendidikan yang islami
tidak lain adalah upaya mengefektifkan aplikasi nilai-nilai agama yang dapat
menimbulkan transformasi nilai dan pengetahuan secara utuh kepada manusia,
masyarakat dan dunia pada umumnya. Dengan cara demikian maka seluruh aspek
kehidupan manusia akan mendapatkan sentuhan nilai- nilai ilahiyah yang
transcendental.
Pendidikan yang islami sebagaimana di
uraikan diatas akan tetap di perlukan untuk mengatasi berbagai masalah
kemanusian yang di hadapi pada masyarakat moderen saat ini dan dimasa
mendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana,
2011.
Musyrifah, Sunanto. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Said, Muh. Affan
Junimar. Mendidik Zaman Ke Zaman.
Bandung: Jemmers, 1987.
Azra,
Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara,
Sejarah Wacana dan kekuasaan. Bandung: PT REmaja ROsda Karya, 1999.
Tjandrasasmita,
Uka, (Ed.). Sejarah Nasional III. jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976.
Abdullah,
Taufik, (Ed.), Islam dan Masyarakat,
Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1987.
H.A
Timur Djaelani. Peningkatan Mutu
Pendidikan dan Pembangunan Perguruan Agama. Jakarta: CV Darmaga, 1980.
Yunus,
Muhammad. Sejarah Pendidkan Islam di
Indonesia. Jakarta: Hidakarya, 1985
Zuhairini.
Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
Maksum.
Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Dauly,
Haida Putra. Pendidikan Islam Dalam
Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Djumhur.
Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1979.
Wahid,
Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren. Jakarta: Dharma Bakti, 1978.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2009/12/sistem-pendidikan
islam-pada-masa-orde.html
[1] Muh. Said., Junimar Affan, Mendidik Dari
Zaman ke Zaman, (Bandung: Jemmars, 1987), hlm. 77.
[2] H.A Timur Djaelani, peningkatan mutu
pendidikan dan pembangunan perguruan agama, (Jakarta: CV Darmaga, 1980),
hlm.16.
[3] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidkan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Hidakarya, 1985), hlm. 174.
[4] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm 236.
[5] Muhammad Yunus, Op. Cit., hlm. 133.
[6] TAP
MPRS No. XXVII Tahun 1966 tentang Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan ini terdiri
dari 3 bab dan 7 pasal. Lebih lengkapnya dapat di lihat dalam Hasbullah,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999), Cet. Ke-3, hlm. 243-251.
[7] Pada tahun 1967 Menteri Agama mengeluarkan
kebijakan untuk menegrikan sejumlah madrasah dalam semua tingkatan (MI, MTs,
dan MA). Melalui kebijakan ini sebanyak 123 MI telah di negerikan sehingga
menambah jumlah total MIN menjadi 358 buah, dan 152 MTsN, dan 42 Madrasah
Aliyah Agama Islam (MAAIN). Lihat, Mawardi Sutejo dkk., Kapita Selekta
Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Dirjen Binbaga Depag dan UT, 1996), Modul
1-6. Hlm. 16. Lihat juga maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya,
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 61.
[8] Maksum, Ibid., hlm. 132.
[9] Haida Putra Dauly, Pendidikan Islam Dalam Pendidikan Nasional
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.150.
[10] H. Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 361.
[11] Djumhur, Sejarah Pendidikan,
(Bandung: CV Ilmu, 1979), hlm. 176
[12] Abdurrahman Wahid, Bunga
Rampai Pesantren, (Jakarta: Dharma Bakti, 1978), hlm. 54.
[13] H. Amin haedari, Transformasi
Pesantren, LeKDis, Jakarta, 2006, hlm. 45.
[14] Ibid. hlm. 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar