BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ulama dan ahli tafsir terdahulu memberikan perhatian yang besar terhadap penyelidikan surat-surat Al-Qur’an. Mereka meneliti al-Qur’an ayat demi ayat dan surat demi surat untuk disusun sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkannya sesuai dengan waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti obyektif, gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu Makki dan Madani.
Perhatian terhadap ilmu Al-Qur’an menjadi bagian terpenting para sahabat dibanding berbagai ilmu yang lain. Termasuk di dalamnya membahas tentang nuzulnya suatu ayat, tempat nuzulnya, urutan turunnya di Mekkah atau di Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah tetapi termasuk kelompok Madani atau ayat yang diturunkan di Madinah tetapi masuk dalam kategori Makki, dan sebagainya. Pada intinya persoalan ini telah menjadi perhatian urgen pada masa sahabat (Al-Qathathan, 1996:72).
Bahkan salah satu tokoh Mufassir pada masa sahabat, misalnya Ibn Abbas pernah menyatakan, “Demi Allah. Tidak Ada Tuhan selain Dia. Tidak diturunkannya satu ayat pun dari kitab Al-Qur’an, kecuali saya mengetahuinya. Di mana diturunkan, jika saya tahu, bahwa ada seseorang yang lebih tahu daripada saya tentang kitab Allah, meskipun misalnya itu disampaikan oleh Onta, niscaya saya akan mengunjunginya”. Pernyataan Ibn Abbas ini, bukan suatu ungkapan kesombongan tetapi merupakan pernyataan betapa besar perhatian Ibn Abbas terhadap Ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Tema-tema seputar Makki dan Madani ini sangat banyak ragam penyelidikannya. Abu al-Qasim al Hasan al Muhammad bin Habib al-Nasyaburi menyebutkan dalam kitabnya al-Tanbib ‘ala fadll ‘Ulum al-Qur’an, bahwa di antara ilmu-ilmu al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul al-Qur’an dan tempat turunnya, urutan turunnya di Mekkah dan di Madinah, tentang yang diturunkan di Mekkah tetapi masuk dalam kategori Madaniyah dan diturunkan di Madinah tetapi masuk dalam kategori Makkiyah, tentang yang diturunkan di Mekkah mengenai penduduk Madinah dan yang diturunkan di Madinah mengenai penduduk Mekkah, tentang yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah (Makki) tetapi termasuk Madaniyah dan serupa dengan yang diturunkan di Madinah (Madaniyah) tetapi termasuk Makkiyah, dan tentang yang diturunkan di Juhafah, di Bayt al-Maqdis, di Tha’if maupun Hudaibiyyah. Demikian juga yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang, secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri. Ayat-ayat Makki dan surat-surat Madani atau sebaliknya dan seterusnya; tema-tema itu keseluruhan berjumlah tidak kurang dari 25 pokok bahasan. Kesemuanya itu terkumpul dalam satu ilmu yaitu Ilmu Makki dan Madani.
Tema-tema tersebut merupakan persoalan penting untuk didiskusikan dalam rangka mempeerdalam ilmu-ilmu al-Qur’an, namun demikian dalam tulisan ini tidak akan dibahas semuanya, melainkan hanya beberapa tema dasarnya saja yang dirasa sudah cukup sebagai pengantar. Hal demikian semata-mata memprtimbangkan keterbatasan tempat dan waktu. Dan bukan dalam artian memperkecil nilai tema-tema di atas.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi definisi Makki dan Madani?
2. Bagaimana perbedaan Makki dan Madani?
3. Bagaimana karakteristik masing-masing Makki dan Madani?
4. Apakah faedah atau manfaat Makki dan Madani?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi Makki dan Madani
2. Mengetahui perbedaan Makki dan Madani
3. Memahami karakteristik dari masing-masing
4. Memahami faedah atau manfaat Makki dan Madani
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Makki dan Madani
Ada beberapa definisi tentang al-Makiy dan al-Madaniy yang diberikan oleh para ulama yang masing-masing berbeda satu sama lain. Perbedaan ini disebabkan kriteria yang disebabkan oleh perbedaan kriteria yang ditetapkan untuk menetapkan Makki atau Madani sebuah surat atau ayat. Ada tiga pendapat yang dikemukakan ulama tafsir dalam hal ini :
1. Berdasarkan tempat turunnya suatu ayat.
الْمَكِيُّ مَا نَزَلَ بِمَكَّة وَلَوْ بَعْدَ الهِجَرَةِ وَالمَدَنِيُّ مَا نَزَلَ بِالمَدِيْنَةِ
“ Makkiyah ialah suatu ayat yang diturunkan di Mekkah, sekalipun sesudah hijrah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan di Madinah”.
Berdasarkan rumusan di atas,Makkiyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di wilayah Mekkah dan sekitarnya. Sedangkan Madaniyyah adalah semua surat atau ayat yang dinuzulkan di Madinah. Adapun kelemahan pada rumusan ini karena tidak semua ayat al-Qur’an dimasukkan dalam kelompok Makiyyah atau Madaniyyah. Alasannya ada beberapa ayat al-Quran yang dinuzulkan jauh di luar Mekkah dan Madinah.
2. Berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan dalam ayat tersebut.
الْمَكِيُّ مَا وَقَعَ خِطَابًا لِأَهلِ مَكَةّ وَالمَدَنِيُّ مَا وَقَعَ خِطَابًا لِأهْلِ المَدِيْنَةِ
“ Makkiyah ialah ayat yang khittabnya/panggilannya ditujukan kepada penduduk Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang khittabnya ditujukan kepada penduduk Madaniyah”.
Berdasarkan rumusan di atas, para ulama menyatakan bahwa setiap ayat atau surat yang dimulai dengan redaksi يا أيها الناس (wahai sekalian manusia) dikategorikan Makkiyyah, karena pada masa itu penduduk Mekkah pada umumnya masih kufur. Sedangkan ayat atau surat yang dimulai dengan يا أيها الذين أمنوا (wahai orang-orang yang beriman) dikategorikan Madaniyyah, karena penduduk Madinah pada waktu itu telah tumbuh benih-benih iman di dada mereka. Adapun kelemahan-kelemahan pada rumusan ini, antaa lain:
a. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi يا أيها الناس atau يا أيها الذين أمنوا. Maksudnya, tidak selalu yang menjadi sasaran surat atau ayat penduduk Mekkah atau Madinah.
b. Tidak semua ayat atau surat di mulai oleh redaksi يا أيها الناس meski Makkiyyah dan yang dimulai dengan redaksi يا أيها الذين أمنوا meski Madaniyyah.
3. Berdasarkan masa turunnya ayat tersebut.
وَاِنْ كَانَ نُزُوْلُهُ بِغَيْرِ مَكَّةِ,eاَلْمَكِيُّ مَانُزِلَ قَبْلَ هِجْرَةِ الرَّسُوْلِ
وَالْمَدَنِيُّ مَانُزِلَ بَعْدَ هَذِهِ الْهِجْرَةِ وَاِنْ كَانَ نُزُوْلُهُ بِمَكَّةَ
وَالْمَدَنِيُّ مَانُزِلَ بَعْدَ هَذِهِ الْهِجْرَةِ وَاِنْ كَانَ نُزُوْلُهُ بِمَكَّةَ
“ Makkiyyah ialah ayat yang diturunkan sebelum Nabi hijrah ke Madinah, sekalipun turunnya di luar Mekkah, sedang Madaniyah ialah yang diturunkan sesudah Nabi hijrah, sekalipun turunnya di Mekkah”.
Dibanding dua rumusan sebelumnya , tampaknya rumusan al-Makkiy dan al-Madaniy ini lebih populer karena di anggap tuntas dan memenuhi unsur penyusunan ta’rif (definisi).
B. Perbedaan Makki dan Madani
Pandangan terhadap pembedaan Makki dan Madani beragam diantara para ulama. Untuk membedakan Makki dan Madani para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri. Pertama, Makki dan Madani dibedakan berdasarkan dari segi waktu turunnya. Kedua, dari segi tempat turunnya. Ketiga, dari segi sasarannya.
1. Dari Segi Waktu Turunnya
Pembagian Makki-Madani berdasarkan segi waktunya disebut juga Teori Mulahadhatun Zaman an-Nuzul (teori Historis), yaitu teori yang berorientasi pada sejarah dan waktu turunnya Al Qur’an. Yang dijadikan tonggak sejarah oleh teori ini adalah hijrah nani Muhammad dari Makkah ke Madinah.[1]
Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah, meskipun bukan di Mekkah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Dengan demikian ayat-ayat atau surah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di Mekkah atau di Arafah, adalah digolongkan kedalam ayat-ayat Madaniah, seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota mekkah, atau yang diturunkan pada saat haji wada’:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتَمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلِإِ سْلَامَدِ يْنًا – الماءِدة
“Hari ini telah aku sempurnakan agamamu, telahku cukupkan kepadamu nikmatku dan telahku ridoi Islam menjadi Agamamu.” (Al-Maidah:3)
Berdasarkan pembagian pertama ini ayat tersebut digolongkan kedalam ayat Madani karena turun setelah hijrah nabi ke Madinah.
2. Dari Segi Tempat Turunnya
Pembagian Makki-Madani berdasarkan tempat turunnya disebut juga teori Mulahadhatu Makan an-Nuzul (teori geografis), yaitu teori yang berorientasi pada tempat turunnya ayat Al Qur’an.[2] Dengan demikian yang dimaksud dengan Makkah adalah kota Makkah dan kawasan sekitarnya, termasuk Arafah, Mina, dan Hudaibiyah; Madinah adalah kota Madinah dan kawasan sekitarnya seperti Badar, Quba, Uhud, dll.
Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian yang tegas, sebab yang turun dalam perjalanan seperti di Tabuk atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya. Seperti surat Fat yang turun dalam perjalanan, dan Az-Zukhruf: 45 turun di baitul maqdis pada malam isra, sehingga tidak bisa dinamai Makki ataupun Madani. Pembagian dari segi tempat turunnya juga mengakibatkan bahwa ayat-ayat/ surat yang diturunkan di Makkah sesudah hijrah nabi ke Madinah disebut Makkiah.
3. Dari Segi Sasarannya
Pembagian Makki-Madani berdasarkan sasarannya disebut juga teori Mulahadhatu Mukhtabin fi an-Nuzul (teori subjektif), yaitu teori yang berorientasi pada subjek siapa yang dipanggil atau ditiru oleh ayat itu.
Makki adalah yang seruan yang ditujukan kepada penduduk Makkah, dan Madani adalah seruan yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, al-Qur’an yang mengandung seruan ya ayyuhan nass (wahai manusia) adalah Makki, sedang ayat yang mengandung seruan ya ayyuhalladziina aamanuu (wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani. Namun kebanyakan surah al-Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan ini. Jumlah ayat yang dimulai dengan nida’ atau panggilan hanya 551 dari 6236 ayat atau sekitar 8,19 %.
C. Karakteristik Makiyyah dan Madaniyyah
Para ulama telah menetapkan karakteristik Makiyyah dan Madaniyyah sebagai berikut :
a. Karakteristik Makiyyah
Ada beberapa karakteristik yang dimiliki Makiyyah di antaranya :
1. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kata كلا Kata ini dipergunakan untuk memberi peringatan yang tegas dan keras kepada orang-orang Mekkah yang keras kepala.
2. Setiap surat yang di dalamnya terdapat ayat sajdah termasuk Makiyyah.
3. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu termasuk Makiyyah, kecuali surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran yang keduanya termasuk Madaniyyah. Adapun surat al-Ra’d yang masih diperselisihkan.
4. Setiap surat yang di dalamnya terdapat kisah Nabi Adam dan Iblis termasuk Makiyyah, kecuali surat Al-Baqarah yang tergolong Madaniyyah.
5. Setiap surat yang dimulai dengan huruf abjad, alphabet (tahjjiy) ditetapkan sebagai Makiyyah, kecuali Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Huruf tahjjiy yang dimaksud di antaranya ك ي ه ص ع, ط ه س ي, ح م, dll
6. Mengandung seruan (nida’) untuk beriman kepada Allah dan hari kiamat dan apa-apa yang terjadi di akhirat. Di samping itu, ayat-ayat Makiyyah ini menyeru untuk beriman kepada para rasul dan para malaikat serta menggunakan argumen-argumen akal, kealaman dan jiwa.
7. Membantah argumen-argumen kaum Musyrikin dan menjelaskan kekeliruan mereka terhadap berhala-berhala mereka.
8. Mengandung seruan untuk berakhlak mulia dan berjalan di atas syariat yang hak tanpa terbius oleh perubahan situasi dan kondisi, terutama hal-hal yang berhubungan dengan memelihara agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.
9. Terdapat banyak redaksi sumpah dan ayatnya pendek-pendek.
b. Karakteristik Madaniyyah
Seperti halnya dalam Makiyyah, Madaniyyah pun mempunyai karakteristik :
1. Setiap surat yang berisi hukum pidana, hukum warisan, hak-hak perdata dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan perdata serta kemasyarakatan dan kenegaraan, termasuk Madaniyyah.
2. Setiap surat yang mengandung izin untuk berjihad, urusan-urusan perang, hukum-hukumnya, perdamaian dan perjanjian, termasuk Madaniyyah.
3. Setiap surat yang menjelaskan hal ihwal orang-orang munafik termasuk Madaniyyah, kecual surat Al-Ankabut yang di nuzulkan di Makkah. Hanya sebelas ayat pertama dari surat tersebut yang termasuk Madaniyyah dan ayat-ayat tersebut menjelaskan perihal orang-orang munafik.
4. Menjelaskan hukum-hukum amaliyyah dalam masalah ibadah dan muamalah, seperti shalat, zakat, puasa, haji, qisas, talak, jual beli, riba, dan lain-lain.
5. Sebagian surat-suratnya panjang-panjang, sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang dan gaya bahasanya cukup jelas dalam menerangkan hukum-hukum agama.
D. Manfaat Mengetahui Makki dan Madani
Perhatian para ulama terhadap historisitas Al Qur’an sangat cermat. Selain dengan menertibkannya surah-surah sesuai waktu dan tempat turunnya, para ulama memisahkannya ayat-ayat yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin[3], antara yang diturunkan di rumah atau saat menetap dengan yang diturunkan dalam perjalanan[4], dan bahkan lebih cermat lagi membedakan antara yang diturunkan di malam hari dengan yang diturunkan siang hari[5]. Pengantar ini penting untuk memberikan gambaran bahwa Makki dan Madani bukanlah satu-satunya bahan kajian dimana ayat-ayat Al Qur’an dikelompok-kelompokkan.
Masing-masing memiliki faedahnya. Berikut adalah beberapa faedah mengetahui Makki dan Madani:
Pertama, Pengetahuan tentang Makki dan Madani diperlukan dalam menafsirkan Al Qur’an, sebab dengan pengetahuan mengenai waktu dan tempat turunnya ayat dapat memahami suatu ayat dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Nasikh dan Mansukh didasarkan pada pengetahuan tentang hal ini bila diantara dua ayat terdapat makna yang kontradiktif[6], maka yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.
Kedua, Meresapi gaya bahasa Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Hal yang demikian Nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan: orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan Ahli Kitab.
Ketiga, mengetahui sejarah Islam pada masa-masa awal dan sejarah hidup nabi sejak wahyu yang pertama turun hingga wahyu terakhir yang turun. Sejarah merupakan upaya penafsiran terhadap berbagai peristiwa setelah memeriksa fakta-fakta dan menyelidiki kronologi fakta-fakta itu[7] . Dan khas Al Qur’an dalam menceritakan sejarah umat-umat terdahulu, sebagaimana dikatakan Afzalur Rahman, peristiwa sejarah dilukiskan apa adanya oleh Al Qur’an untuk kemudian dinilai.
Kemampuan mereka ditimbang dan dievaluasi dengan ukuran dan standar Ilahi[8]. Dalam masa-masa awal kita mengenal beberapa penulis-penulis sejarah dan ahli-ahli sejarah dikalangan muslim seperti Ibnu Khaldun, Al-Mas’udi, Miskawaih, Ibn Khalliqan, Al-Biruni, Al Maqrisi, Ibn Asakir, Ibn Ishaq, dan At Thabari.
Keempat, mnegetahui sejarah periwayatan hukum Islam (tarikhul tasyri’) yang begitu bijaksana dalam menetapkan perkara-perkara; mengetahui hikmah disyari’atkan suatu hukum (hikmatul tasyri) seperti contohnya hikmah diharamkannya khamr secara perlahan lahan.
BAB III
KESIMPULAN
Pengetahuan tentang ayat-ayat Mekkah dan Madinah merupakan bagian yang terpenting dalam ‘Ulum Qur’an. Hal ini bukan saja merupakan kepentingan kesejarahan melainkan juga untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang bersangkutan.
Sebagaian surat di dalam al-Qur’an berisi ayat-ayat dari kedua periode tersebut dan dalam beberapa hal muncul perbedaan pendapat dari kalangan para ulama tentang klasifikasi ayat-ayat tertentu. Bagaimanapun juga secara keseluruhan memang sudah berhasil disusun suatu pola pemisahan (pembagian) yang sudah mapan, dan telah digunakan secara meluas secara ilmu tafsir, dan dijabarkan dari bukti-bukti internal yang ada dalam teks al-Quran itu sendiri.
Definisi Al-Makiy dan Al-Madaniy oleh para ahli tafsir meliputi berdasarkan tempat turunnya suatu ayat, berdasarkan khittab/ seruan/ panggilan dalam ayat tersebut, berdasarkan masa turunnya ayat tersebut.
Surat-surat al-Qur’an itu terbagi menjadi empat macam antara lain : Surat-surat Makiyyah murni, Surat-surat Madaniyyah murni, Surat-surat Makiyyah yang berisi ayat Madaniyyah, Surat-surat Madaniyyah yang berisi ayat Makiyyah.
Karakteristik surat dan ayat-ayat Al-Qur’an ini terbagi menjadi dua yaitu karakteristik Al-Makkiy dan karakteristik Al-Madaniy. Adapun kegunaan mempelajari Ilmu ini antara lain agar dapat membedakan ayat-ayat nasikh dan mansukh, agar dapat mengetahui sejarah hukum Islam dan tahapan-tahapannya secara umum, mendorong keyakinan yang kuat, agar mengetahui fase-fase dakwah Islamiyah yang telah ditempuh oleh Al-Qur’an secaa bertahap, agar dapat mengetahui keadaan lingkungan, situasi, dan kondisi masyarakat pada waktu turun ayat-ayat Al-Qur’an, agar mengetahui gaya bahasanya yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Khalil Al Khattan, studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Muzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2006.
Bahjat Ahmad, Nabi-nabi Allah, terj. Muhtadi Kadi dan Muthofa Sukawi, Jakarta: Qisthi Press, 2007.
Isma’il R. Al faruqi and Louis lamya Al faruqi, the culture atlas of Islam, New York: MacMillan publishing Company, 1986.
Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, ed. Sahabuddin (et al), Jakrta: Lentera Hati, 2007.
Afzalur Rahman, terj. Taufik Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-qur’an: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al qur’an, Jakarta: Mizan, 2007.
Afzalur Rahman, terj. Taufik Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-qur’an: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al qur’an, Jakarta: Mizan, 2007.
Fajrul Munawir et. Al, Al Qur’an; Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan kalijaga, 2005.
Lihat Fajrul Munawir et. Al, Al Qur’an; Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan kalijaga, 2005.
Aisyah, sity, dkk. Perkembangan dan Konsep Dasar AUD, Jakarta; Universitas Terbuka,2009.
Papalia E. Diane, Sally wendkos old, Ruth Duskin Feldman, Human Development ( Psikologi Perkembangan), Cet : Ke-1, Jakarta; Kencana, 2008.
Taylor Eric, Anak yang Hiperaktif, Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992.
http://earlychildhoodeducation-fifi.blogspot.com/2011/01/bk-di-tk.html 01/11/2011.
[1] Fajrul Munawir et. Al, Al Qur’an; Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan kalijaga, 2005. Hlm 19.
[2] Fajrul Munawir et. Al, Al Qur’an; Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan kalijaga, 2005. Hlm 14.
[3] Contoh ayat yang turun di musim panas adalah ayat tentang kalalah yang terdapat di akhir surah An-Nisa’. Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun dalam perang Tabuk yang terjadi pada musim panas yang berat sekali seperti dinyatakan dalam qur’an. QUr’an menceritakan kata-kata kaum munafik: “Mereka berkata: Janganlah berangkat perang dalam panas terik ini….” (An-Nisa’ [4]: 176).
[4] Kebanyakan ayat Al-Qur’an turun diwaktu menetap, tapi terdapat beberapa ayat yang turun dalam perjalanan seperti awal surah Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang, Q.S. At Taubah [9]: 34 dan awal surah Al Hajj ayat 1-2 yang turun dalam perjalanan. Surah Al-Fath turun di antara Makkah dan madinah mengenai soal Hidaibiyah.
[5] Kebanyakan Ayat Al-Qur’an itu turun pada siang hari. Ayat-ayat yang diturunkan pada malam hari seperti bagian-bagian akhir surah Ali ‘Imran. Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya, Ibnul Munzir, Ibn Mardawaih dan Ibn Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a: “Bagaimana saya tidak menangis padahal tadi malam diturunkan kepadaku, “Sesungguhnya pada penciptaan…” (Ali-Imran [3]: 190”. Contoh lain adalah ayat mengenai tiga orang yang tidak ikut berperang. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadits Ka’ab: “Allah menerima taubat kami pada sepertiga malam yang terakhir”. Contoh lainnya ialah awal surah Al-Fath. Dalam Shahih Bukgari terdapat hadits Umar: “Telah diturunkan kepadaku pada mala mini sebuah surah yang lebih aku sukai daripada apa yang disinari matahari.”
[6] Misalnya QS. Al Baqarah [2]:155, “Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah.” Dinasakh oleh QS. Al Baqarah [2]: 144, “Maka Palingkanlah mukamu kea rah masjidil Haram”.
[7] Afzalur Rahman, terj. Taufik Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-qur’an: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al qur’an, Jakarta: Mizan, 2007. Hlm. 145
[8] Afzalur Rahman, terj. Taufik Rahman, Ensiklopediana Ilmu dalam Al-qur’an: Rujukan Terlengkap Isyarat-Isyarat Ilmiah dalam Al qur’an, Jakarta: Mizan, 2007. Hlm. 141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar