PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN
DI ERA GLOBAL
Oleh : Darul Zhulfi
Pendidikan merupakan sarana yang sangat
strategis dalam melestarikan sistem nilai
yang berkembang dalam kehidupan. Proses pendidikan tidak hanya
memberikan pengetahuan dan pemahaman peserta didik, namun lebih diarahkan pada
pembentukan sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik, mengingat
perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik
tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Apa lagi di era
globalisasi yang melanda dunia termasuk Indonesia berlangsung sangat cepat yang
menimbulkan dampak global pula yang sekaligus menuntut kemampuan manusia unggul
yang mampu mensiasati dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang
dan akan terjadi. Globalisasi akan semakin membuka diri bangsa dalam menghadapi
bangsa-bangsa lain. Batas-batas politik, ekonomi, sosial budaya antara bangsa
semakin kabur. Persaingan antar bangsa akan semakin ketat dan tak dapat
dihindari, terutama dibidang ekonomi dan IPTEK. Hanya negara yang unggul dalam
bidang ekonomi dan penguasaan IPTEK yang dapat mengambil manfaat atau
keuntungan yang banyak.
Sejalan dengan era informasi dalam dunia
global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam
melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut
tidak dapat dielakkan bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan
pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk namun sikap, perilaku dan
kepribadian peserta didik perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat
perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik
tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik. Tugas pendidik dalam
konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau
kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya,
masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras
dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau
membantu proses hominisasi dan
humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu
peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi
(bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Para peserta didik
perlu dibantu untuk hidup berdasarkan pada nilai moral yang benar, mempunyai
watak yang baik dan bertanggungjawab terhadap aktifitas-aktifitas yang
dilakukan. Dalam konteks inilah pendidikan budi pekerti sangat diperlukan dalam
kehidupan peserta didik di era globalisasi ini.
Fondasi
Pendidikan
Pendidikan merupakan usaha sadar yang
terencana, terprogram dan berkesinambungan membantu peserta didik mengembangkan
kemampuannya secara optimal, baik aspek kognitif, aspek afektif maupun aspek
psikomotorik. Aspek kognitif yang berkenaan dengan hasil belajar intelektual
yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Aspek afektif berkenaan dengan sifat
yang terdiri dari lima aspek yakni: penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian,
organisasi, dan internalisasi. Aspek psikomotorik berkenaan dengan hasil
belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek,
yaitu: gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan
ekspresif dan interpretatif.
Pengembangan potensi peserta didik merupakan
proses yang disengaja dan sistematis dalam membiasakan/mengkondisikan peserta
didik agar memiliki kecakapan dan keterampilan hidup. Kecakapan dan
keterampilan yang dimaksud berarti luas,
baik kecakapan personal (personal skill) yang mencakup; kecakapan
mengenali diri sendiri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill), kecakapan sosial (social skill),
kecakapan akademik (academic skill), maupun kecakapan vokasional (vocational
skill). Kegiatan pendidikan pada tahap melatih lebih mengarah pada konsep
pengembangan kemampuan motorik peserta didik. Terkait dengan proses melatih
ini, perlu dilakukan pembiasaan dan
pengkondisian anak dalam berpikir secara kritis, strategis dan taktis dalam proses
pembelajaran. Peserta dilatih memahami, merumuskan, memilih cara pemecahan dan memahami proses pemecahan “masalah”.
Berangkat dari kondisi tersebut, maka budaya instant dalam pembelajaran yang selama ini dibudayakan harus
ditinggalkan, menuju proses pemberdayaan seluruh unsur dalm sistem
pembelajaran.
Sejalan dengan pencapaian tujuan pendidikan,
perlu diupayakan suatu sistem pendidikan yang mampu membentuk kepribadian dan
ketrampilan peserta didik yang unggul, yakni beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, manusia yang kreatif, cakap, terampil, jujur, dapat dipercaya,
disiplin, bertanggung jawab dan memiliki
solidaritas sosial yang tinggi. Untuk mewujudkan manusia yang unggul
perlu diberikan landsan pendidikan yang kokoh. Bangsa kita sebenarnya
telah memiliki pilar pendidikan yang sangat fundamental, yang disampaikan oleh
Ki Hajar Dewantoro, Ing Ngarso Sun Tulodho, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut
Wuri Handayani, namun implementasinya dalam pendidikan kita masih
rendah. Konsep ini tidak saya bahas dalam analisis ini, namun pada tataran
ini dipaparkan hasil konferensi tahunan UNESCO di Melbourne Australia tahun 1998. Dalam konferensi tersebut
dicanangkan empat pilar pendidikan yang dijadikan fondasi pendidikan pada era
informasi dan jaringan global ini dalam meraih dan merebut pasar internasional.
Keempat pilar tersebut adalah :
Learning
to Know (belajar untuk tahu)
Pada proses pembelajaran melalui
penerapan paradigma ini, peserta didik akan dapat memahami dan menghayati
bagaimana suatu pengetahuan dapat diperoleh dari fenomena yang terdapat dalam
lingkungannya. Melalui proses pendidikan seperti ini mulai sekolah dasar s/d pendidikan tinggi, diharapkan lahir
generasi yang memiliki kepercayaan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka
bumi untuk mengelola dan mendayagunakan alam. Untuk mengkondisikan masyarakat
belajar yang efektif dewasa ini, diperlukan pemahaman yang jelas tentang “apa”
yang perlu diketahui, “bagaimana” mendapatkan Ilmu pengetahuan,
“mengapa’ ilmu pengetahuan perlu diketahui, “untuk apa” dan “siapa” yang akan
menggunaka ilmu pengetahuan itu. Belajar untuk tahu diarahkan pada peserta
didik agar mereka memiliki pengetahuan fleksibel, adaptable, value added dan siap memakai bukan
siap pakai.
Learning
to Do (Belajar untuk melakukan)
Proses pembelajaran dengan penekanan
agar peserta didik menghayati proses belajar dengan melakukan sesuatu yang
bermakna ‘’Active Learning‘’. Peserta didik memperoleh kesempatan
belajar dan berlatih untuk dapat menguasai dan memiliki standar kompetensi
dasar yang dipersyaratkan dalam dirinya. Proses pembelajaran yang dilakukan
menggali dan menemukan informasi (information searching and exploring),
mengolah dan informasi dan mengambil keputusan (information processing and
decision making skill), serta memecahkan masalah secara kreatif (creative
problem solving skill). Menurut Dewey bahwa pembelajaran yang dapat
dilakukan dengan: 1). Belajar peserta didik dengan berpikir kreatif, 2).
Keterampilan proses, 3). Problem solving approach, 4). Pendekatan
inkuiri, 5). Program sekolah yang harus terpadu dengan kehidupan masyarakat,
dan 6). Bimbingan sebagai bagian dari mengajar. Beberapa bentuk Active
Learning ; Kegiatan Active learning dilakukan dengan kegiatan
mandiri, peserta didik membaca sendiri bahan yang akan dibahas di kelas.
Pembahasan (diskusi) di kelas dengan diawali penugasan pembuatan artikel,
melakukan problem possing, dan problem solving, Pada kegiatan pembelajaran yang
aktif ini diberikan panduan awal (advance organizer) yang mengarahkan
pada pembahasan materi pembelajaran, sebelum belajar mandiri dilaksanakan,
sehingga memungkinkan peserta didik
aktif baik secara intelektual, motorik maupun emosional. Dalam pemberian tugas,
peserta didik dituntut mampu merumuskan konsep baru yang di sintesis dari
materi yang telah dipelajari.
Learning
to be (Belajar
untuk menjadi diri sendiri)
Proses pembelajaran yang memungkinkan
lahirnya manusia terdidik dengan sikap mandiri. Kemandirian belajar merupakan
kunci terbentuknya rasa tanggung jawab dan kepercayaan diri untuk berkembang
secara mandiri. Sikap percaya diri akan lahir dari pemahaman dan pengenalan
diri secara tepat. Belajar mandiri harus didorong melalui penumbuhan motivasi
diri. Banyak pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan dalam melatih kemandirian peserta didik,
misalnya; pendekatan sinektik, problem soving, keterampilan proses,
discovery, inquiry, kooperatif, dan sebagainya Pendekatan pembelajaran
tersebut mengutamakan keterlibatan peserta didik secara efektif.
Pendekatan-pendektan pembelajaran ini pada dasarnya suatu proses sosial,
peserta didik dibantu dalam melakukan peran sebagai pengamat yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi. Meskipun
guru dapat memberikan situasi masalah, namun dalam penerapannya, peserta
didik mencari, menanyakan, memeriksa dan berusaha menemukan sendiri hal-hal
yang dipelajari. Para peserta didik mulai berpikir berdasarkan kemampuan dan
pengalamannya masing-masing secara logis. Strategi pembelajaran inkuiri merupakan salah satu alternatif pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Strategi
pembelajaran keterampilan proses lebih menekankan pada kegiatan-kegiatan yang
berpusat pada pengembangan kreativitas belajar peserta didik. Penerapan
strategi pembelajaran keterampilan proses dapat membantu guru dalam
menyampaikan materi pembelajaran dengan
menciptakan kondisi pembelajaran yang bervariasi dalam menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar lebih
dalam, mendorong rasa ingin tahu lebih lanjut dan memotivasi untuk berpikir
kreatif.
Learning
To Live Together (Belajar untuk Hidup Bersama)
Proses pembelajaran yang memungkinkan
peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus
menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan
politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan,
moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia. Pendekatan pembelajaran
tidak semata-mata bersifat hafalan melainkan dengan pendekatan pembelajaran
yang memungkinkan terintegrasikannya nilai-nilai kemanusiaan dalam kepribadian
dan perilaku selama proses pembelajaran. Salah satu strategi pembelajaran yang
dapat diterapkan adalah dengan pendekatan kooperatif-integrated.. Pembelajaran
mempunyai jangkauan tidak hanya membantu peserta didik belajar isi akademik dan
ketrampilan semata, namun juga melatih peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan hubungan sosial dan
kemanusiaan. Model pembelajaran
ditandai dengan adanya struktur tugas yang bersifat kontekstual, struktur
tujuan, dan struktur penghargaan (reward).
Untuk mewujudkan makna pendidikan dan
fondasi pembelajaran tersebut diperlukan proses pembelajaran yang efektif. Keefektifan
proses pembelajaran merupakan pencerminan dalam mencapai tujuan pembelajaran
tepat yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Keefektifan
proses pembelajaran berkenaan dengan jalan, upaya, teknik dan strategi yang
digunakan dalam mencapai tujuan pembelajaran secara optimal, tepat dan cepat
(Nana Sudjana, 1996 : 52). Sekolah tidak hanya berkewajiban untuk memelihara
nilai-nilai masyarakat, namun juga harus memberikan keaktifan kepada peserta
didik dan secara kritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dan harus
mengadakan usaha pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi
keefektifan pembelajaran antara lain kemampuan guru dalam menggunakan strategi.
Penerapan strategi pembelajaran
dipengaruhi oleh faktor tujuan, peserta didik, situasi, fasilitas dan
pembelajaran itu sendiri. Dengan menerapkan metode yang tepat, proses
pembelajaran akan berlangsung lebih
efektif sehingga hasil pembelajaran akan lebih baik dan mantap. Salah satu
startegi pembelajaran yang memberikan
perhatian pengembangan potensi peserta didik adalah strategi keterampilan
proses (proses pemecahan masalah).
Upaya mengembangkan disiplin intelektual
dan ketrampilan yang dibutuhkan peserta didik untuk membantu memecahkan masalah
dalam kehidupannya dengan memberikan pertanyaan dan kasus yang memperoleh jawaban
atas dasar rasa ingin tahu. Keterlibatan aktif peserta didik secara mental
dalam kegiatan pembelajaran akan membawa
dirinya kepada kegiatan belajar yang bermakna. Secara kooperatif akan
memperkaya cara berpikir peserta didik dan menolong mereka belajar tentang
hakekat timbulnya pengetahuan yang tentatif dan berusaha menghargai penjelasan.
Pergeseran Paradigma Pendidikan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi sangat menuntut hadirnya perubahan paradigma pendidikan
yang berorientasi pada pasar dan kebutuhan hidup masyarakat. Sayling Wen dalam
bukunya “future of education” menyebutkan beberapa pergeseran paradigma
pendidikan, antara lain:
1. Pendidikan
yang berorientasi pada pengetahuan bergeser menjadi pengembangan ke segala
potensi yang seimbang.
Pada
pendidikan orientasi pendidikan lebih menekankan pada pemindahan informasi yang dimiliki
kepada peserta didik (bersifat kognitif). Proses pembelajaran yang berkembang
di negara kita dapat deskripsikan sebagai berikut: peran guru sangat dominan
dalam proses pembelajaran, kesan yang muncul adalah guru mengajar peserta didik
diajar, guru aktif peserta didik pasif, guru pinter peserta didik minder, guru
berkuasa, peserta didik dikuasai. Dalam kegiatannya pendidik berusaha memola anak didik sesuai dengan kehendaknya.
Program pembelajaran, materi, media, metode dan evaluasi yang diterapkan
sepenuhnya disiapkan oleh pendidik. Mulai tahun pelajaran 2004/2005 Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) mulai diterapkan, implementasi KBK diharapkan dapat mengembangkan
seluruh potensi yang menjadi sasaran pendidikan secara optimal. Mengingat KBK
mengandung prinsip pembelajaran yang menerapkan pendekatan, antara lain: 1)
student centered, 2) Integrated learning, 3) individual learning, 4) mastery
learning, 5) problem solving, 6) Experince based learning, dan 7) peran
guru sebagai fasilitator, pembimbing, konsultan dan sekaligus mitra belajar.
Meskipun dalam pelaksanaannya, KBK masih ditemukan banyak kelemahan-kelemahan.
2. Dari
keseragaman pembelajaran bersama yang sentralistik menjadi keberagaman yang
terdesentralisasi dan terindividulisasikan. Hal ini seiring dengan
berkembangnya teknologi informasi dimana informasi dapat diakses secara mudah
melalui brbagai macam media pembelajaran secara mandiri, misalnya; internet,
multimedia pembelajaran, dsb.
3. Pembelajaran
dengan model penjenjangan yang terbatas menjadi pembelajaran seumur hidup.
Belajar tidak hanya terbatas pada jenjang pendidikan dasar, menengah dan
tinggi, namun belajar dapat dilakukan sepanjang hayat, yang tidak terbatas pada
tempat, usia, waktu, dan fasilitas.
4. Dari
pengakuan gelar kearah pengakuan kekuatan-kekuatan nyata (profesionalisme)
Dilihat
dari kualitas pendidik, secara kuantitatif jenjang pendidikan yang dimiliki
guru-guru SD, SLTP, SMU/SMK cukup menjanjikan, Sebagian besar sarjana
atau D2. Hal ini ditunjukkan dengan gelar yang dimiliki pada pendidik, namun
secara kualitas, sungguh memprihatinkan. Secara kualitatif bisa dilihat,
motivasi belajar dan motivasi berprestasi dalam meningkatkan profesionalisme di
kalangan pendidik sangat rendah. Sebagian besar guru malas belajar, malas
mencari pengetahuan baru, dan berkarya (baca: tekun membaca, mengikuti
pelatihan, menulis karya ilmiah). Pola pikir yang berkembang pada pendidik saat
ini lebih loyal pada integrasi gaji dari pada loyalitas profesional, dengan
nafsu mengejar pangkat, golongan, posisi dan tunjangan. Di antara pendidik ada
yang melanjutkan kuliahnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (S1, S2 dan
S3), bukan untuk meningkatkan kualitas diri dan profesi, namun demi “gengsi,
posisi dan gaji”, kesempatan kuliah yang seharusnya digunakan untuk
meningkatkan kualitas diri dan profesi secara mandiri mulai menghilang. Kondisi
demikian sungguh memprihatinkan. Namun seiring dengan kemajuan teknologi
informasi dan persaingan global, kompetensi dan profesionalisme akan menjadi
tolok ukur keberhasilan seseorang dalam memenang persaingan hidup. Prestasi
kerja menempatkan seseorang pada posisi kerja yang sesungguhnya (“saat ini muncul
image posisi kerja adalah uang”)
5. Pembelajaran
yang berbasis pada pencapaian target kurikulum bergeser menjadi pembelajaran
yang berbasis pada kompetensi dan produksi. Pencapaian target kurikulum bukan
satu-satunya indikator keberhasilan proses pendidikan, keberhasil pendidikan
hendaknya di lihat dari konteks, input, proses, output dan outcomes,
sehingga keberhasilan pendidikan dapat dimaknai secara komprehensif. Masih
banyak lembaga pendidikan kita yang masih menekankan pada pencapaian target
kurikulum, contoh dilapangan: kita lihat kurikulum pendidikan dasar, pada
jenjang pendidikan dasar (masa kanak-kanak dan SD) merupakan jenjang pendidikan
yang menyenangkan (masa bermain), coba kita lihat setelah anak mulai masuk di
TK atau di SD kesempatan bermain bagi anak sangat dibatasi. Sistem pembelajaran
yang diterapkan membatasi gerak anak dengan dinding dan keangkuhan guru yang sangat kokoh di
depan kelas. Anak-anak mulai dipola sekehendak gurunya yang dengan dalih agar
sesuai dengan kurikulum yang telah
dirumuskan oleh pejabat pendidikan, meskipun dengan menerapkan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK). peserta didik SD yang seharusnya masih menggunakan
konsep pendidikan bermain sambil belajar. Dengan, namun mulai menghilang, yang
muncul belajar sambil bermain. Sehingga anak-anak SD kurang mengenal nama-nama
benda, tumbuhan, binatang yang ada disekitarnya.
Kondisi ini wajar, karena beban
pelajaran yang dipersyaratkan dalam kurikulum yang harus ditanggung peserta
didik di SD begitu berat (9 mata pelajaran), belum lagi masih banyaknya pekerjaan rumah (PR) yang
sebagian besar bersifat menghafal (mengkhayal) hal-hal yang terpisah
dari kemampuan dan tuntutan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Sejak masa
kanak-kanak para peserta didik telah dikondisikan dengan pencapaian target
kuantitif yang sangat berat. Untuk mengurangi jumlah pengkhayal dalam pendidikan,
sebaiknya pada jenjang pendidikan dasar mulai dipikirkan menerapkan kurikulum
dasar yang berbasis pada mata pelajaran Matematika, bahasa, sains, jasmani
dengan memperhatikan pemberdayaan sistem nilai yang berkembang di daerahnya.
Proses pembelajaran yang dilakukan dengan
pendekatan kontektual.
6. Pendidikan
sebagai investasi manusia dengan hight cost, yang dapat dinikmati oleh
kelompok masyarakat menengah ke atas, khususnya pendidikan tinggi.
Strategi
Pengembangan Pendidikan Di Era Global
Untuk membekali terjadinya pergeseran
orientasi pendidikan di era global dalam mewujudkan kualitas sumber daya
manusia yang unggul, diperlukan strategi pengembangan pendidikan, antara lain:
1. Mengedepankan
model perencanaan pendidikan (partisipatif) yang berdasarkan pada need
assessment dan karakteristik masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam
perencanaan pendidikan merupakan tuntutan yang harus dipenuhi.
2. Peran
pemerintah bukan sebagai penggerak, penentu dan penguasa dalam pendidikan,
namun pemerintah hendaknya berperan sebagai katalisator, fasilitator dan
pemberdaya masyarakat.
3. Penguatan
fokus pendidikan, yaitu fokus pendidikan diarahkan pada pemenuhan kebutuhan
masyarakat, kebutuhan stakeholders, kebutuhan pasar dan tuntutan teman
saing.
4. Pemanfaatan
sumber luar (out sourcing), memanfaatkan berbagai potensi sumber daya
(belajar) yang ada, lembaga-lembaga pendidikan yang ada, pranata-pranata
kemasyarakatan, perusahaan/industri, dan lembaga lain yang sangat peduli pada
pendidikan.
5. Memperkuat
kolaborasi dan jaringan kemitraan dengan berbagai pihak, baik dari instansi
pemerintah mapun non pemerintah, bahkan baik dari lembaga di dalam negeri
maupun dari luar negeri.
6. Menciptakan
soft image pada masyarakat sebagai masyarakat yang gemar belajar,
sebagai masyarakat belajar seumur hidup.
7. Pemanfaatan
teknologi informasi, yaitu: lembaga-lembaga pendidikan baik jalur pendidikan
formal, informal maupun jalur non formal dapat memanfaatkan teknologi informasi
dalam mengakses informasi dalam mengembangkan potensi diri dan lingkungannya
(misal; penggunaan internet, multi media
pembelajaran, sistem informasi terpadu, dsb).